Rabu, 15 Juni 2016
Jumat, 15 April 2016
MAKALAH HADIS "Tentang Orientasi Amal"
PEMBAHASAN
Materi Hadis
عَنْ أَمِيْرِ الْمُؤْمِنِيْنَ أَبِيْ
حَفْصٍ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ
اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ : إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى . فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ
وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ
لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ
إِلَيْهِ .
[رواه
إماما المحدثين أبو عبد الله محمد بن إسماعيل بن إبراهيم بن المغيرة بن بردزبة
البخاري وابو الحسين مسلم بن الحجاج بن مسلم القشيري النيسابوري في صحيحيهما
اللذين هما أصح الكتب المصنفة]
Arti Hadits / ترجمة الحديث :
Dari Amirul Mu’minin, Abi Hafs Umar bin Al Khottob
radiallahuanhu, dia berkata: Saya mendengar Rasulullah bersabda : Sesungguhnya setiap perbuatan]) tergantung
niatnyA). Dan sesungguhnya
setiap orang (akan dibalas)berdasarkan apa yang dia
niatkan. Siapa yang hijrahnya karena (ingin mendapatkan keridhaan) Allah dan
Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa
yang hijrahnya karena dunia yang dikehendakinya atau karena wanita yang ingin
dinikahinya maka hijrahnya (akan bernilai sebagaimana) yang dia niatkan.
(Hadis Riwayat dua imam hadits, Abu Abdullah Muhammad bin Isma’il bin
Ibrahim bin Al Mughirah bin Bardizbah Al Bukhori dan Abu Al Husain, Muslim bin
Al Hajjaj bin Muslim Al Qusyairi An Naishaburi dan kedua kita Shahihnya yang
merupakan kitab yang paling shahih yang pernah dikarang)[1][1]
Kosa kata / مفردات :
اْلأَعْمَالُ
: Perbuatan
لنِّيَّات : Niat/maksud
إِنَّمَا : Sesungguhnya. (kata penguat/ta’qid dan
peringkas/taqshir
امْرِئٍ : Seseorang, manusia
يُصِيْبُ : Mendapatkan/mencapai
امرأة : Seorang
wanita
Asbab al-
wurud hadis tentang niat
Rasulullah
SAW mengeluarkan hadis diatas (asbab al-wurud)-nya adalah untuk menjawb pertanyaan salah seorang sahabat berkenaan dengan peristiwa hijrahnya rasulullah
SAW. Dari mekkah ke madinah, yang diikuti oleh sebagian besar sahabat. Dalam
hijrah itu ada salah seorang laki-laki yang turut serta berhijrah. Akan tetapi,
niatnya bukan untuk kepentingan perjuangan islam melainkan hendak menikah dengan seorang wanita yang bernama
Ummu Qais. Wanita itu rupanya telah bertekad akan turut hijrah, sedangkan
laki-laki tersebut pada mulanya memilih tinggal di Mekkah. Ummu Qais hanya
bersedia dikawini ditempat tujuan hijrahnya Rasulullah SAW. yakni Madinah,
sehingga laki-laki itupun ikut hijrah ke Madinah.
Ketika peristiwa itu
ditanyakan kepada Rasulullah SAW,apakah hijrah dengan motif itu diterima
(maqbul) atau tidak, Rasullah SAW menjawab secara umum seperti disebutkan pada
hadis diatas[2][2].
Dalam hadis ini Rasulullah SAW
menegaskan secara khusus, bahwa tiap-tiap perbuatan bergantung kepada dorongan
hati (kesengajaan) pelakunya. Kemudian beliau mengambil contoh berupa perbuatan
(amal) hijrah.
Hijrah para sahabat dan Nabi
SAW dari Mekkah ke Madinah adalah atas perintah Allah. Melakukan perintah Allah
adalah ibadah. Tetapi kalau di dalam melakukan perintah Allah itu maksudnya
atau kesengajaannya untuk mendapatkan keuntungan dunia atau materi, seperti
istri, harta, pangkat, kemasyuran, pujian dan lain-lain, maka perbuatan
tersebut tidak akan mendapat pahala dari Allah. Bahkan ia akan mendapatkan
dosa, sebab Allah menyatakan bahwa tiap-tiap orang dalam melekukan perintahnya
harus bersikap ikhlas, bersih dari pamrih keduniaan.[3][3]
Penjelasan Hadis
Islam adalah agama yang tidak pernah
mengajarkan adanya pekerjaan sia-sia, sehingga tidak satu pekerjaan pun yang
boleh dilakukan setengah hati. Setiap pekerjaan harus diselesaikan secara
serius dengan metodologi dan orientasi yang jelas. Dalam islam , semua kerja
(amal) memiliki nilai dan akan dicatat sebagai ibadah dihadapan Allah.
Karena itu tidak ada pekerjaan yang dilakukan
tanpa niat dan perencanaan yang jelas. Niat dalam khazanah ilmu fiqh adalah
disebut pemicu ruh dan inti ibadah. Niat menjadi tolak ukur diterima tidaknya
ibadah seorang hamba. Suatu amal yang tidak didasari niat yang benar dianggap
tidak bernilai. Sebab terdapat dua kemungkinan bagi seseorang yang mengerjakan
suatu perbuatan. Pertama, ada orang yang mengerjakan suatu pekerjaan
tanpa tujuan, tanpa aturan sebagaimana
layaknya robot atau mesin. Kedua, ada yang melekukan suatu perbuatan
dengan penuh kesadaran dan memiliki tujuan yang jelas. Niatlah yang akan mengantarkan
seseorang agar memasuki kelompok kedua[4][4].
Arti dan makna niat dalam setiap pekerjaan
(amal)
Niat atau niyyat, seperti yang dikutip dalam
bukunya teungku hasbi as shidieqy (mutiara hadis 1),menurt bahasa adalah tujuan
hati dan kehendak hati. Menurut syara ialah bergeraknya hati kearah sesuatu
pekerjaan untuk mencapai keridhaan allah dan untuk menyatakan tunduk dan patuh
kepada perintah-Nya.
Al baidhawy bwrkata: niat itu ialah bergeraknya
hati untuk engerjakan ssuaatu yang dipandang baik, untuk sesuattu maksud, baik
untuk menarik sesuatu manfaat ataupun untuk menolak sesuatu mudharat, dalam
waktu yang cepat atau dalam waktu yan akan datang. Syara menentukan niat dengan
iradat (kehendak hati) yang mengarah kepada pekerjaan untuk mencari keridhaan
Allah dan untuk menuruti perintahnya.
Kebanyakan ulama mutaakhirin Syafi’iyah
mengartikan niat syar’iyah (niat yang dipandang syara) dengan “menghendaki
sesuatu, bersamaan dengan mengerjakannya”[5][5].
Pengertian niat dalam ensiklopedi hukum islam secara semantis berarti maksud, keinginan kehendak, cita-cita, tekad dan
menyengaja. Secara terminologis ulama fiqh mendifinisikan dengan “tekad hati
untuk melakukan sesuatu perbuatan ibadah dalam rangka mendekatkan diri
semata-mata kepada Allah[6][6].
Fungsi dan
peranan niat dalam setiap amal ibadah
Niat merupakan unsur yang sangat menentukan
dalam keabsahan suatu amal ibadah dan menentukan keabsahan suatu ibadah dan
beberapa jenis muamalah. Menurut istilahnya ialah kehendak hati untuk melakukan
perbuatan tertentu untuk mencari keridhaan Allah dan meleksanakan hukumnya.
Yang dikatakan niat menurut para fuqaha ialah sesuatu kehendak untuk
melaksanakan sesuatu perbuatan berbarengan dengan pelaksanaannya.
Yusuf Qardhawy menjelaskan dalam buku “Niat dan
Ikhlas”, bahwa niat itu merupakan amal hati secara murni, bukan amal lidah,
maka dari itu tidak pernan dikenal dari Rasulullah, dari sahabat dan
orang-orang salaf yang mengikuti mereka tentang adanya niat dalam ibadah yang
dilafadzkan[7][7].
Disepakati bahwa tempat niat adalah dalam hati
dan dilakukan pada permulaan melakukan perbuatan untuk tujuan amal kebajikan.
Niat berperan penting dalam ajaran islam, khususnya perbuatan yang berdasarkan
perintah syara, atau menurut sebagian ulama,dalam perbuatan yang mengandung
harapan untuk mendapatkan pahala dari Allah. Niat akan menentukan nilai,
kualitas serta hasilnya, yakni pahala yang akan diperolehnya.
Orang yang berhijrah dengan niat ingin mendapat
keuntungan dunia atau ingin mengawini seorang wanita, ia tidak akan mendapatkan
pahala dari Allah SWT. Sebaliknya kalau orang hijrah karena ingin mendapat
ridha Allah maka ia akan mendapatkannya, bahkan keuntungan dunia pun akan
diraihnya[8][8].
Agama islam mensyariatkan niat ada dua hikmah
yang terkandung didalamnya:
a)
Untuk
membedakan perbuatan-perbuatan yang semata-mata berdasarkan kebiasaan dengan
perbuatan-perbuatan ibadah.
b)
Untuk
membedakan martabat, nilai ibadah dari perbuatan yang dilakukan oleh seseorang[9][9].
Pendapat para
ulama mengenai hadis tentang niat
Menurut pendapat kebanyakan ulama pensyarah
hadis, hadis ini member pengertian
\bahwasanya niat itu, adalah syarat syah segala amal yang dimasud (maqashid).
Dan mereka berselisih paham tentang mensyaratkan niat dalam urusan 9wasa-il.
(yang menjadi jalan bagi muqashid atau orang yang bermaksud).
Al-Ghazaly menetapkan, bahwasanya niat pada
sesuatu amalan, adalah syarat syahnya amal, niat yang diartikan menurut makna
bahasa (qashad dan iradat).
Menurut Ash-shidieqy hadis tersebut memberi
suatu pengertian yang tegas yaitu, segala amal bedasarkan motivasi dari
seesorang, kalau motivasi karena Allah, maka dipahalai. Kalau penggeraknya
bukan karena Allah tidak dipahalai dan mungkin diganjari dengan dosa.[10][10]
Lebih lanjut ash-Shidieqy menjelaskan bahwa
niat adalah ruh dan amal neracanya. Sesungguhnya tidaklah terjadi sesuatu amal
ikhtisyari yang diqashadkan (yang disengajakan) melainkan dengan adanya
niat. Maka yang diperoleh oleh seorang amil dari amalannya adalah apa yang mendorongnya
untuk beramal, bukan lahiriah amalan.
Lafal niat dalam bahasa Arab digunakan untuk
Pertama, mebedakan
antara suatu amal dengan amal yang lain, antara sesuatu ibadah dengan ibadah
yang lain,
Kedua, membedakan
antara niat seseorang dengan niat seseorang yang lain.
Al-imam Ibnu Katsir brkata, bahwa hadis nabi
saw
إِنَّمَا
اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
“sesungguhnya segala amal itu
dengan niat”
Yang memberi pengertian bahwa amal yang
dipandang disisi Allah, hanyalah amal yang disertai niat, adalah karena tidak
ada sesuatu yang tersembunyi dari Allah, baik dibumi maupun dilangit. Dan
bukanlah kenyataan (rupa) amal yang berharga di sisi-Nya. Allah menghargai amal
seseorang menurut niat yang menggerakannya[11][11].
إن
الله لا ينظر إلى صوركم وأموالكم ولكن ينظر إلى قلوبكم وأعمالكم
Maksudnya
:”Sesungguhnya Allah tidak memandang kepada rupamu dan harta kekayaanmu, akan
tetapi Ia memandang kepada hatimu dan perbuatanmu.” (Hadis Riwayat Muslim)
Hadis
ini mengandung isyarat bahawa seorang hamba Allah jangan memastikan kebaikan
atau keburukan seseorang semata-mata kerana melihat kepada amal perbuatannya
saja, sebab ada kemungkinan seorang nampak mengerjakan amal kebaikan, padahal
Allah SWT melihat di dalam hatinya ada sifat yang tercela, dan sebaliknya pula
mungkin ada seorang yang kelihatan melakukan suatu yang nampak buruk, akan
tetapi Allah SWT melihat dalam hatinya ada rasa penyesalan yang besar yang
mendorong kepadanya bertaubat dari dosanya. Maka amal perbuatan yang nampak di
luar itu, hanya merupakan tanda-tanda saja yang menimbukan sangkaan yang kuat,
tetapi belum sampai ke tingkat meyakinkan. Maka Allah SWT melarang orang-orang
mukmin memanggil orang dengan panggilan-panggilan yang buruk setelah mereka
beriman.
Jika hati baik, maka baiklah anggota badan yang
lain. Jika hati rusak, maka rusak pula yang lainnya. Baiknya hati dengan
memiliki rasa takut, rasa cinta pada Allah dan ikhlas dalam niat. Rusaknya hati
adalah karena terjerumus dalam maksiat, keharaman dan perkara
syubhat
(yang masih samar hukumnya).
Dari
An Nu’man bin Basyir radhiyallahu
‘anhuma, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
أَلاَ
وَإِنَّ فِى الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ ،
وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ . أَلاَ وَهِىَ الْقَلْبُ
“Ingatlah bahwa di dalam jasad itu ada
segumpal daging. Jika ia baik, maka baik pula seluruh jasad. Jika ia rusak,
maka rusak pula seluruh jasad. Ketahuilah bahwa ia adalah hati (jantung)”
(HR. Bukhari no. 52 dan Muslim no. 1599).
Apa yang Dimaksud Baiknya
Hati?
Para ulama berselisih pendapat
mengenai maksud baiknya hati, berikut pendapat yang ada:
1-
Yang dimaksud baiknya hati adalah rasa takut pada Allah dan siksanya.
2-
Yang dimaksud adalah niat yang ikhlas karena Allah, ia tidak melangkahkan
dirinya dalam ibadah melainkan dengan niat taqorrub pada Allah, dan ia tidak
meninggalkan maksiat melainkan untuk mencari ridho Allah.
3-
Yang dimaksud adalah rasa cinta pada Allah, juga cinta pada wali Allah dan
mencintai ketaatan.
Intinya, ketiga makna ini semuanya
dimaksudkan untuk baiknya hati. Demikian penjelasan guru kami, Syaikh Sa’ad bin
Nashir Asy Syatsri dalam Syarh Al Arba’in, hal. 68-69.
Bagaimana Cara Baiknya
Hati?
“Baiknya hati adalah dengan takut
pada Allah, rasa khawatir pada siksa-Nya, bertakwa dan mencintai-Nya. Jika hati
itu rusak, yaitu tidak ada rasa takut pada Allah, tidak khawatir akan
siksa-Nya, dan tidak mencintai-Nya, maka seluruh badan akan ikut rusak. Karena
hati yang memegang kendali seluruh jasad. Jika pemegang kendali ini baik, maka
baiklah yang dikendalikan. Jika ia rusak, maka rusaklah seluruh yang
dikendalikan. Oleh karena itu, seorang muslim hendaklah meminta pada Allah agar
dikaruniakan hati yang baik. Jika baik hatinya, maka baik pula seluruh
urusannya. Sebaliknya, jika rusak, maka tidak baik pula urusannya.” (Al Minhah
Ar Robbaniyah fii Syarh Al Arba’in An Nawawiyah, hal. 109).
Karenanya, yang sering Nabi -shallallahu
‘alaihi wa sallam- minta dalam do’anya adalah agar hatinya terus dijaga
dalam kebaikan. Beliau sering berdo’a,
يَا مُقَلِّبَ
الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِى عَلَى دِينِكَ
“Ya muqollibal qulub tsabbit qolbi ‘alaa diinik (Wahai Dzat
yang Maha Membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu).”
Ummu Salamah pernah menanyakan
kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kenapa do’a tersebut
yang sering beliau baca. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya
menjawab,
يَا أُمَّ سَلَمَةَ إِنَّهُ لَيْسَ آدَمِىٌّ إِلاَّ
وَقَلْبُهُ بَيْنَ أُصْبُعَيْنِ مِنْ أَصَابِعِ اللَّهِ فَمَنْ شَاءَ أَقَامَ
وَمَنْ شَاءَ أَزَاغَ
“Wahai Ummu Salamah, yang
namanya hati manusia selalu berada di antara jari-jemari Allah. Siapa saja yang
Allah kehendaki, maka Allah akan berikan keteguhan dalam iman. Namun siapa saja
yang dikehendaki, Allah pun bisa menyesatkannya.” (HR. Tirmidzi no. 3522.
Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Dalam riwayat lain dikatakan,
إِنَّ الْقُلُوبَ بِيَدِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ
يُقَلِّبُهَا
“Sesungguhnya hati berada di
tangan Allah ‘azza wa jalla, Allah yang membolak-balikkannya.” (HR. Ahmad 3:
257. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini qowiy
atau kuat sesuai syarat Muslim).
Dari Abu
Hurairah, bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya agama itu mudah.
Tidaklah seseorang mempersulit (berlebih-lebihan) dalam agama melainkan ia akan
dikalahkan. Oleh karena itu kerjakanlah dengan semestinya, atau mendekati
semestinya dan bergembiralah (dengan pahala Allah) dan mohonlah pertolongan di
waktu pagi, petang dan sebagian malam"
Penjelasan Hadits
إِنَّ
الدِّينَ يُسْرٌ
Sesungguhnya
agama itu mudah
Inilah karakter agama Islam sebagai agama yang telah diridhai Allah dan
diturunkan dalam kesempurnaan kepada umat terakhir.
Ada pendapat yang mengatakan Islam dikatakan mudah karena ia berbeda dengan
agama-agama sebelumnya, di mana Allah telah menghilangkan kesulitan-kesulitan
yang dibebankan kepada umat terdahulu. Dicontohkan oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani,
dalam hal taubat misalnya. Untuk diterima taubatnya, umat terdahulu ada yang
diharuskan bunuh diri. Sedangkan bagi kaum muslimin cukup dengan menyesali
dosanya, berjanji tidak mengulangi dan memperbanyak kebaikan.
Pada dasarnya, Islam adalah agama yang mudah karena ia diturunkan oleh Allah
SWT yang Maha Tahu karakter dan kemampuan manusia. Manusia adalah ciptaan Allah
dan Dialah yang paling tahu apa yang tepat serta mudah bagi ciptaan-Nya itu.
Dia tidak memberikan beban atau kewajiban yang tidak sanggup ditanggung oleh
hamba-Nya.
لَا
يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا
Allah tidak membebani seseorang
melainkan sesuai dengan kesanggupannya (QS. Al-Baqarah : 286)
Dalam hal aqidah, aqidah Islam yang pokoknya adalah tauhid merupakan keyakinan
yang sejalan dengan fitrah, menenangkan hati dan memuaskan akal. Sehingga
sangat mudah bagi manusia yang mau berfikir untuk mengikuti aqidah ini, tanpa
kesulitan. Tidak seperti filsafat yang rumit dan juga tidak seperti politheisme
yang membingungkan.
Dalam hal ibadah, ibadah Islam adalah ibadah yang mudah. Shalatnya lima waktu
dalam sehari semalam merupakan ibadah yang pertengahan. Ia tidak seperti shalat
umat terdahulu yang sampai puluhan kali dalam sehari dengan jangka waktu lama.
Tidak pula terlalu jarang seperti peribadatan pekanan dalam agama selain Islam.
Shalat bisa dilakukan di bumi mana saja, dengan baju yang mana saja asalkan
menutupi aurat dan tidak melanggar syariah, dan dengan imam siapa saja dari
kaum muslimin.
pa yang
diingatkan Rasulullah SAW itu tidak lain adalah mengikuti karakter agama ini.
Bahwa Islam itu mudah. Dan seorang muslim tidak boleh berlebihan, memaksakan
diri, atau memperberat yang akhirnya justru ia cepat bosan lalu berhenti, atau
terhalang dari kewajiban dan keutamaan lain dari agama ini.
فَسَدِّدُوا
Oleh
karena itu kerjakanlah dengan semestinya,
Yaitu amalkanlah Islam itu sebagaimana mestinya, dengan baik dan benar, tanpa
berlebihan dan tanpa menguranginya
وَقَارِبُوا
atau
mendekati semestinya
Jika tidak mampu, berusahalah mendekati mestinya. Senantiasa berusaha mendekati
kesempurnaan sebagaimana yang telah ditunjukkan Allah dan Rasul-Nya dalam
Al-Qur'an dan hadits
وَأَبْشِرُوا
dan
bergembiralah (dengan pahala Allah)
Bergembiralah, karena dengan mengamalkan Islam sebagaimana adanya itu engkau
akan mendapatkan pahala dari Rabbmu. Bergembiralah, sebab dengan menjalankan
Islam yang mudah itu engkau akan mendapatkan ganjaran dan kebaikan dari
Tuhanmu. Dan amal yang paling dicintai Allah adalah yang terus menerus meskipun
ia sedikit. Ketidakmampuan seseorang dalam menjalankan perintah Allah tanpa
kesengajaan tidaklah mengurangi pahalanya, dan sederhana dalam sunnah itu lebih
baik daripada banyak amalan tetapi bid'ah.
وَاسْتَعِينُوا
بِالْغَدْوَةِ وَالرَّوْحَةِ وَشَىْءٍ مِنَ الدُّلْجَةِ
dan mohonlah pertolongan di waktu
pagi, petang dan sebagian malam
Al-Ghadwah (الْغَدْوَةِ) artinya
permulaan siang. Ar-Rauhah (الرَّوْحَة)
artinya setelah terbenamnya matahari. Ad-Duljah (الدُّلْجَةِ) artinya akhir malam.
Maksudnya adalah, mintalah pertolongan kepada Allah SWT dengan beribadah pada
waktu-waktu yang telah ditentukan, utamanya adalah permulaan siang (Dzuhur),
Maghrib dan waktu-waktu qiyamullail. Mintalah pertolongan kepada Allah dalam
segala hal, baik urusan dunia maupun urusan akhirat, khususnya dalam bab ini
adalah agar diisitiqamahkan dalam menjalankan Islam yang mudah, yang sesuai
sunnah. Tanpa berlebih-lebihan sekaligus tanpa pengurangan.
Ibnu Hajar Al-Asqalani menjelaskan bahwa hadits ini memiliki korelasi yang erat
dengan hadits-hadits sebelumnya. Yakni jika hadits sebelumnya menunjukkan bahwa
shalat, puasa dan jihad merupakan bagian dari iman dan memiliki keutamaan
besar, hadits ini mengingatkan agar dalam menjalankan ketiganya kita tetap
berada dalam koridor sunnah, sesuai dengan karakter Islam yang mudah. Tidak
mempersulit diri dan berlebih-lebihan.
Kamis, 14 April 2016
MAKALAH "METODE PENULISAN RASM UTSMANI (KAIDAH HAMZAH DAN BADAL)"
A.
Pendahuluan
Sejak awal
hingga akhir turunnya, seluruh ayat Al-Qur’an
telah ditulis dan didokumentasikan oleh para penulis wahyu yang langsung
ditunjuk oleh Rasulullah SAW. Di samping itu seluruh ayat Al-Qur’an dinukilkan atau diriwayatkan secara mutawattir
baik secara hafalan maupun tulisan, ditulis dan dibukukan dalam satu mushaf.
Al-Qur’an yang dimiliki umat Islam sekarang mengalami
proses sejarah yang unik hingga menjadi satu mushaf. Ilmu yang membahas penulisan Al-Qur’an
ini dikenal dengan ilmu Rasm Al-Qur’an. Sebagian besar menisbatkan Rasmul Qur’an ini kepada khalifah Utsman
bin Affan yang telah memberikan tugas, sehingga disebut juga Rasm Utsmani.
Para ahli tata bahasa Arab atau dikenal dengan Nuhat, telah menciptakan berbagai aturan dasar dan kaidah (al-qawa’id al-imla’) tetapi ada perbedaan pada bentuk tertentu
dalam mushaf yang dikodifikasi para
sahabat pada zaman khalifah Utsman ini. Dalam perkembangannya pula, beberapa ulama berbeda pendapat tentang
status Rasm Utsmani ini, apakah
bersifat tauqify atau ijtihadi, mengingat Rasm Utsmani ini disusun oleh manusia, serta kaidah-kaidah yang
dipakai dalam Rasm Utsmani.
Salah satu bentuk kemukjizatan, Al-Qur’an ditulis berbeda dengan kaidah
bahasa Arab pada umumnya (imla’ al ‘adiy), lafalnya ditulis dengan huruf
hijaiyah dengan senantiasa menjaga ibtida (permulaan) dan waqf (berhenti) nya. Para ahli tata bahasa Arab
atau yang lebih dikenal dengan Nuhat (para ahli ilmu nahwu) telah
menciptakan berbagai aturan dasar dan kaidah (al-qawa’id al-imla’),
tetapi ada perbedaan pada bentuk tertentu pada Mushaf al-Imam (mushaf
yang dikodifikasikan pada masa pemerintahan Utsman bin Affan yang telah
diyakini dan disepakati keabsahannya oleh seluruh sahabat) yang selanjutnya
disebut sebagai Mushaf Utsmani.[1]
Perbedaan tulisan pada Mushaf Utsmani (Rasm Utsmani) dengan kaidah
penulisan menurut tata bahasa Arab bukan hanya karena adanya perbedaan keadaan
makna kalimatnya saja, namun karena aturan penulisan itu sudah ditentukan
sendiri oleh Nabi SAW. Sebagai ketetapan (taqrir) dari beliau yang
diperoleh melalui wahyu, karena beliau sama sekali tidak dapat membaca maupun
menulis (ummiy).[2]
Perbedaan-perbedaan dalam penulisan mushaf utsmani terfokus dalam lima
pokok, yaitu: pembuanggan huruf (al-hazf), penambahan huruf (al-ziyadah),
hamzah, penggantian huruf (al-badl), pemisahan (al-fasl), dan
satu tulisan yang memuat dua bacaan (ma fihi qira’atani). Oleh karena
itu keaslian (otentisitas) tulisan Al-Qur’an selalu terjaga karena
eksklusifitas tulisan Al-Qur’an yang juga merupakan bagian dari kemukjizatan
Al-Qur’an. Syaikh Abu al-Abbas al-Marakisy dalam kitab karangannya Unwan
al-Dalil fi Marsum Khat al-Tanzil menjelaskan: bahwa adanya pebedaan huruf
dalam mushaf utsmani karena mempertimbangkan pada makna-makna kalimatnya, dan
di dalamnya terdapat berbagai faedah dari sisi balaghah, kebahasaan dan tata
bahasanya.[3]
B.
Kaidah Penulisan Mushaf Utsmani
Rasm Utsmani memiliki
kaidah tertentu yang diringkas oleh para ulama menjadi enam kaidah.
Kaidah-kaidah tersebut sekaligus membedakannya dengan kaidah imla’. Selanjutnya kaidah-kaidah ini,
menurut Adnan Amal, merupakan karakteristik ortografi mushaf Utsmani. Dalam karyanya al-Muqni’
fi Ma’rifah Marsum Mashahif Ahl al-Amshar, Abu Amr al-Dani sebagaimana
dikutip oleh Adnan Amal, mendokumentasikan karakteristik ortografi mushaf Utsmani yang menyimpang dari
kaidah-kaidah ortografi yang lazim dikenal di kalangan sarjana bahasa Arab.[4]
1.
Kaidah Penulisan Hamzah
1)
Hamzah
sakinah (mati) maka ditulis sesuai dengan
harakat huruf sebelumnya, contoh: أؤتمن، إئذِن، البأساء
2)
Hamzah Mutaharrikah (berharakat),
maka:
a)
Jika
berada pada permulaan kalimat dan bertemu dengan huruf zaidah, maka
ditulis dengan huruf alif, contoh: فبأي، سأنزل، سأصرف، إذا، أولو، أيوب
b)
Jika
berada di tengah-tengah kalimat maka ditulis sesuai dengan harakatnya. Bila hamzah berharakat fathah maka
ditulis dengan alif, jika kasrah maka ditulis dengan ya’ jika dhammah maka ditulis
dengan wawu, contoh: تقرؤه، سئل، سأل
c)
Jika
berada di akhir kalimat maka ditulis sesuai dengan harakat sebelumnya. Bila
huruf sebelum hamzah berharakat fathah
maka hamzah ditulis dengan alif,
jika huruf sebelumnya berharakat dhammah maka ditulis dengan wawu dan jika huruf sebelumnya
berharakat kasrah maka ditulis dengan ya’, contoh: سبأ، لؤلؤ، شاطئ
d)
Jika
huruf sebelum hamzah berharakat sukun
(mati) maka ditulis sendirian, contoh: مِلْءُ الأَرْضِ، يُخْرِجُ الخَبْء
kaidah penulisan huruf hamzah menurut Rasm Uthmani tidak
begitu kentara kecuali hamzah-hamzah di awal kalimah. Contohnya hamzah wasal dibuang
bentuknya apabila hamzah wasal terletak pada “fiil” selepas Istifham pada tujuh tempat yaitu;
ö@è% öNè?õ‹sƒªBr& y‰ZÏã «!$# #Y‰ôgtã
(
أاتخذتم
)
(Al-Baqarah 080)
yìn=©Ûr&
|=ø‹tóø9$#
ÏQr&
x‹sƒªB$#
(Al-Maryam 78)
3“uŽtIøùr& ’n?tã «!$# $¹/É‹x. Pr& ¾ÏmÎ/ 8p¨ZÅ_
(Saba 8)
’s"sÜô¹r&
ÏN$oYt7ø9$#
’n?tã
tûüÏZt6ø9$#
(Saffat
153)
öNßg»tRõ‹sƒªBr&
$‡ƒÌ÷‚Å™
÷Pr&
ôMxî#y—
ãNåk÷]tã
ã»|Áö/F{$#
(Sad
63)
|N÷Žy9õ3tGó™r&
÷Pr&
|MZä.
z`ÏB
tû,Î!$yèø9$#
(Sad
75)
íä!#uqy™
óOÎgøŠn=tæ
|NöxÿøótGó™r&
óOßgs9
÷Pr&
öNs9
öÏÿøótGó¡n@
öNçlm;
(Al-Munafiqun
6)
2.
Kaidah Penulisan Badal
(Penggantian)
a)
Huruf
alif diganti dengan huruf wawu
untuk menunjukkan keagungan, contoh: الحَيوةَ،
الزكَوة، الصلَوة
b)
Alif ditulis dengan ya’ jika
asal kalimatnya dari ya’, contoh: يأَسَفَى، يحَسْرَتَى. Selain itu ada juga
beberapa kalimat yang keluar dari kaidah ini seperti: (إلى)، (على)، (بلى)، (حتى)، (متى)
c) Huruf alif diganti dengan nun pada
nun taukid khafifah,
contoh : إذاً –> إذً ن
d) Ha’ muannats ditulis dengan ta’ maftuhah (terbuka),
contoh: رحمت، ،نعمت، ومعصيت إن شجرت ,
وجنت نعيم , قرت عين, dan kalimat امرأة yang disandarkan kepada nama suaminya seperti: امرأتَ نُوْح, فِرْعَوْن امْرَأَتَ. Lihat dalam surat al-Baqarah, Ali-Imran, al-Maidah,
Ibrahim, al-Nahl, Luqman, Fathir, al-Mujadilah dan at-Thur.
Reference
al-Suyuthi, Jalaluddin Abdurrahman bin Abu Bakar. 2004. Al-Itqan fi
Ulumul Qur’an. Beirut: Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah.
Amal, Taufik Adnan. 2013. Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an. Jakarta:
PT Pustaka Alvabet.
Hermawan, Acep. 2011. ‘Ulumul Qur’an. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Nasir, Muhammad. 2008. Mukjizat Rasm AL-Qur’an; Telaah Atas Tulisan
Mushaf Usmany. Skripsi tidak diterbitkan UIN Yogyakarta.
Syamlul, Muhammad. 2006. I’jaz Rasm Al-Qur’an wa I’jaz al-Tilawah.
Kairo: Dar el-Salam.
[1]Muhammad Syamlul, I’jaz Rasm Al-Qur’an wa I’jaz al-Tilawah, (Kairo:
Dar el-Salam, 2006), hlm. 29.
[2]Muhammad Nasir, Mukjizat Rasm AL-Qur’an; Telaah Atas Tulisan Mushaf
Usmany, (Skripsi UIN Yogyakarta, 2008), hlm. 10.
[3]Jalaluddin Abdurrahman bin Abu Bakar al-Suyuthi, Al-Itqan fi Ulumul
Qur’an, (Beirut: Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2004), hlm. 556.
[4]Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an, (Jakarta: PT Pustaka Alvabet, 2013), hlm. 265.
Langganan:
Postingan (Atom)