Rabu, 13 April 2016

MAKALAH HERMENEUTIKA GADAMER

Hermeneutika Dialektis Hans George Gadamer

Hermeneutika Gadamer adalah suatu respons terhadap perkembangan metodologis hermeneutika dalam era modern. Sebagai suatu respons metodologis, dia menghindari metodologisme mengenai penafsiran yang benar. Hermeneutikanya berusaha mendiskripsikan apakah pemahaman itu sendiri yang menerangkan kondisi-kondisi kemungkinannya, dan menggambarkan “apa yang terjadi pada kita” dalam semua tindakan pemahaman.
Pemahaman tidaklah dipahami sebagai proses subyektif manusia yang berlawanan dengan obyek, namun merupakan cara keberadaan manusia itu sendiri; hermeneutika tidaklah dimaknai sebagai suatu disiplin pembantu yang bersifat umum bagi kemanusiaan tetapi sebagai upaya filosofis untuk memandang pemahaman sebagai sebuah proses ontologis dalam diri manusia.
Sekilas penting untuk memahami antara hermeneutika dialektis Gadamer dan bentuk hermeneutika yang berorientasi pada metode dan metodologi. Gadamer tidaklah secara langsung concern dengan problem-problem praktis didalam memformulasikan prinsip-prinsip yang benar bagi interpretasi; lebih dari itu, ia berkeinginan untuk menggiring fenomena pemahaman itu sendiri untuk di cuatkan. Ini tidaklah berarti bahwa ia mengingkari pentingnnya memformulasikan prinsip-prinsip tertentu; sebaliknya prinsip-prinsip tertentu dipandangnya juga penting dalam disiplin interpretasi. Apa yang dimaksudkan adalah bahwa Gadamer bekerja pada tataran mendasar dan pertanyaan-pertanyaan yang lebih fundamental: bagaimana pemahaman dapat berlaku, tidak hanya dalam hal-hal kemanusiaan namun juga dalam pengalaman dunia manusia secara keseluruhan?. Inilah persoalan yang di pra-asumsikan dalam disiplin-disiplin interpretasi historis yang telah melampaui jauh dibalik disiplin-disiplin tersebut.
Menurut Gadamer, kebenaran diperoleh melalui proses dialektika. Tujuan dari proses dialektika adalah menggelitik realitas yang dijumpai, dalam hal ini teks, supaya mengungkapkan dirinya. Oleh karena itu, dalam pandangan Gadamer, tugas hermeneutik adalah mengeluarkan teks dari alienasinya, dan mengembalikannya ke dalam dialog yang riil dengan kehidupan manusia di masa kini.
Menurut Gadamer, tujuan hermeneutik bukanlah menerapkan berbagai macam aturan baku dan kaku untuk meraih pemahaman yang “benar objektif”, tetapi untuk mendapatkan pemahaman seluas mungkin. Dengan demikian, kunci untuk memahami bukan dengan cara memanipulasi atau menguasai, tetapi dengan partisipasi dan keterbukaan; bukan dengan pengetahuan, tetapi dengan pengalaman; dan bukan dengan metodologi, tetapi dengan dialektika. Dalam proses dialektika, teks dan penafsir menjalani suatu keterbukaan satu sama lain sehingga keduanya saling memberi dan menerima yang kemudian memungkinkan bagi lahirnya pemahaman yang baru.
Struktur Pengalaman dan Pengalaman Hermeneutis
Truth and Method menyatakan bahwa di wilayah pengalaman manusia tentang dunia, terdapat kebenaran-kebenaran yang tak tertanggulangi oleh metode-metode ilmiah ilmu pengetahuan modern. Disini, poin terpentingnya bukanlah tentang adanya kebenaran-kebenaran lain yang terdapat diluar jangkauan metode ilmiah, akan tetapi bahwa kebenaran-kebenaran yang di klaim berbagai ilmu itu luruh kedalam keuniversalan “pengalaman hermeneutis”. Keuniversalan ini tidak disimpulkan Gadamer secara empiris, akan tetapi dari analisis fenomenologis atas pengalaman aktual manusia ketika memahami sesuatu. Dari sini, lahirlah tesis bahwa setiap pemahaman dan teori pemahaman tidak akan mengantarkan manusia pada “objek” dalam dirinya sendiri, sebab hakikat pengalaman dan pemahaman adalah historis, dan oleh karena itu terbatas.
Gadamer mulai menguji pengalaman hermeneutisnya dengan mengkritisi konsep pengalaman, dimana dia menemukan konsep pengalaman yang ada terlalu berorientasi ke arah pengetahuan sebagai bentuk perasaan dan pengetahuan sebagai jasad data konseptual. Dengan kata lain, kita saat ini cenderung mendefinisikan pengalaman dalam bentuk yang sepenuhnya dan berorientasi kearah pengetahuan sains dan tidak mengindahkan historisitas pengalaman dalam. Jika demikian halnya, kita secara tidak sadar memenuhi tujuan ilmu, yaitu “mengobyektifkan pengalaman yang meniadakan ragam persitiwa historis terhadapnya. Melalui kekakuan metodis, eksprementasi sains menjadikan objek keluar dari peristiwa historisnya dan merestrukturisasikannya untuk sesuai dengan metode.
Pengalaman hermeneutis merupakan penyingkapan kebenaran. Kebenaran tidak harus dipahami sebagai korespondensi pernyataan terhadap “fakta”; kebenaran merupakan kemunculan dinamis dari manusia untuk melihat kenyataan. Kebenaran didasarkan pada negativitas; ini merupakan alasan bahwa penemuan kebenaran menghasilkan yang terbaik ke dalam dialektika dimana kekuatan negativitas dapat dijalankan. Kemunculan kebenaran didalam pengalaman hermeneutis mendatangkan perjumpaan dengan negativitas yang instrinsik pada pengalaman; pada kasus ini pengalaman menjadi seperti “momen estetik” atau “even bahasa.” Kebenaran bukanlah konseptual, bukan fakta−itu yang terjadi.
Pengalaman, Gadamer menyatakan, memiliki penggabungan dialektis “tidak dalam pengetahuan tetapi dalam keterbukaan pengalaman, yang lahir dari ruang bebas pengalaman.” Jelasnya, pengalaman disini tidak dimaksudkan untuk beragam pengetahuan informatif yang menjaga ini atau itu. Seperti gadamer menggunakan term itu, ia tidak bersifat teknis dan keluar dari kebiasaan. Ia menunjukkan pada non-obyektivitasi dan selebihnya akumulasi “pemahaman” yang tidak bersifat obyektivasi yang kita sebut kearifan. Misalnya, seseorang yang seluruh hidupnya terkait dengan masyarakat memperoleh kemampuan untuk memahaminya, yang kita sebut “pengalaman”. Sementara pengalamnanya bukan merupakan pengetahuan obyektif, ia masuk ke dalam interpretasi perjumpaan dengan masyarakat. Tetapi, itu bukan kemampuan personal semata, itu merupakan pengetahuan tentang cara sesuatu, ”pengetahuan tentang masyarakat” yang tidak bisa diletakkan ke dalam term konseptual.
Pengalaman sering mendorong perasaan baru dan pemahaman baru. Ia senantiasa dapat dipelajari, dan tak ada seorangpun yang dapat menutupinya pada kita. Kita ingin menyelamatkan anak kita dari “pengalaman” pahit yang kita sendiri mengalaminya, tetapi anak-anak kita itu tidak dapat menghindar dari pengalaman itu sendiri, pengalaman merupakan sesuatu yang dimiliki bagi hakiki historis manusia. ”Pengalaman”, kata Gadamer, ”merupakan persoalan kekecewaan kompleks (multiside disillusionment) yang didasarkan pada dugaan (harapan); hanya dengan cara inilah pengalaman dipelajari. Kenyataan bahwa “pengalaman” menyakitkan dan pahit tidak sungguh merupakan pahit; marilah kita lihat ke dalam hakikat dalam dari pengalaman itu. ” Negativitas dan kekecewaan adalah sesuatu yang integral bagi pengalaman, disana nampak tak lebih dari hakikat eksisitensi momen negatifitas historis manusia yang ditampakkan dalam hakikat pengalaman. ”Setiap pengalaman bertentangan dengan harapan jika ia sungguh layak disebut pengalaman”.
Ketika dalam pengalaman seseorang beranjak ke depan bersama harapan, dan ketika pengalaman masa lalu mengajarkan rencana-rencana yang tidak selesai, saat itu jelas terdapat struktur historisitas. “Pengalaman nyata” menurut  Gadamer, “merupakan pengalaman historisitas seseorang”. Dalam pengalaman kekuasaan manusia untuk melakukan dan nalar rencananya timbul berlawanan dengan keterbatasannya. Manusia, yang bergerak dan bertindak dalam sejarah, memperoleh melalui pengalaman pengetahuan ke depan dimana harapan dan rencana masih terbuka untuknya. Kedewasaan dalam pengalaman yang menempatkan seseorang pada peluang itu sendiri untuk ke depan dan bagi masa lalu merupakan esensi yang dimaksudkan Gadamer sebagai kesadaran operatif historis.
Dengan observasi dalam pikiran ini, kita dapat mengkarakterisasi “pengalaman hermeneutis”, yang niscaya berkenaan dengan sesuatu yang dihadapi sebagai warisan. Mengingat secara umum pengalaman merupakan peristiwa, warisan seseorang “bukan peristiwa sepele yang dikenal orang melalui pengalaman dan menjadi alat control; selebihnya ia merupakanbahasa, yaitu, ia membicarakan, seperti dalam konsep Thou (kamu). Warisan bukan sesuatu yang dapat dikontrol seseorang, atau ia merupakan suatu obyek terhadap seseorang. Seseorang mulai memahaminya, sementara ia bergerak didalamnya, sebagai pengalaman linguistik intrinsik. Seperti seseorang mengalami makna teks, dia mulai memahami sebuah warisan yang sekilas mengarahkannya sebagai sesuatu yang melawannya, namun sebagai sesuatu yang sekaligus merupakan bagian dari sisi yang non-obyektif dari pengalaman dan historis dimana ia berpijak.
Teks yang dijumpai sebagai kamu tidak harus dipandang, Gadamer menyatakan secara empati sebagai “ekspresi hidup”. Teks memiliki isi makna spesifik selain dari seluruh hubungannya dengan perkataan seseorang. Apa yang di maksud Gadamer dengan relasi Aku-Kamu untuk warisan adalah bahwa dalam teks warisan mengarahkan dan menjadikan klaim bagi pembaca, bukan sebagai sesuatu yang memungkinkan seseorang untuk berbicara. Teks harus dibiarkan berbicara sendiri, pembaca terbuka kepadanya sebagi subyek dalam haknya ketimbang sebagai obyek. Jelas keterbukaan otentik ini adalah apa yang baru saja kita deskripsikan dalam kaitannya dengan struktur Aku-Kamu dari kesadaran operatif historis
Struktur Aku-Kamu mendorong hubungan dialog atau dialektik. Suatu pertanyaan di alamatkan pada teks, dan dalam pengertian yang lebih dalam, teks mengalamatkan pertanyaan untuk penafsirannya. Struktur dialektis pengalaman secara umum, dan pengalaman hermeneutis khususnya, merefleksikan dirinya dalam struktur pertanyaan-jawaban dari semua kenyataan dialog. Namun perlu diwaspadai bahaya dialektis dalam bentuk orang perorang ketimbang bentuk persoalan-subyek. Signifikansi persoalan-subyek dalam dialog akan memunculkan analisis penalaran berikut.
Struktur Penalaran Dalam Hermeneutik
Karakter pengalaman dialektis direfleksikan dalam gerakan dan perjumpaanya dengan negativitas yang diperoleh dalam seluruh kebenaran tindakan penalaran. Gadamer sejauh ini mengatakan bahwa “dalam seluruh pengalaman, struktur penalaran di pra-anggapkan. Realisasi bahwa beberapa hal adalah lain dari seseorang yang memiliki pemikiran awal mempra-anggapkan proses pelampauan melalui tindakan penalaran. Keterbukaan pengalaman memiliki strukutur pertanyaan: “Apakah ia demikian atau begitu?” Kita cermati bahwa pengalaman memenuhi dirinya dalam realisasi keterbatasan dan historis kita. Begitu halnya dalam tindakan penalaran, terdapat suatu benteng negativitas yang utama, selalu merupakan pengetahuan dari tidak mengetahui.
Gadamer mengatakan bahwa secara orisinil mengajukan pertanyaan berarti “menempatkan dalam keterbukaan”, karena jawabannya belum ditentukan. Maka konsekuensinya, retorika pertanyaan bukanlah suatu pertanyaan hakiki, karena tidak terdapat tindakan penalaran asli ketika suatu dibicarakan tentang sesuatu yang sebenarnya tidak pernah “dipertanyakan. Ketika seseorang mengetahui, ia sesungguhnya tidak mengetahui, dan ketika ia tidak mengetahui untuk itu diperlukan suatu cara bahwa ia hanya butuh memahami secara lebih mendalam dalam cara yang telah dipahaminya,dengan begitu ia memperoleh struktur keterbukaan yang mencirikan tindakan penalaran yang otentik.
Dengan begitu, dalam dialog hermeneutis subyek umum dimana seseorang meleburkan dirinya−baik interpreter maupun teks itu sendiri−merupakan tradisi, warisan budaya. Bagaimanapun, partner seseorang dalam dialog adalah teks, sudah ada dalam fiksasi bentuk tertulis. Dengan demikian, terdapat suatu kebutuhan untuk menemukan suatu cara bagi dialog give and take. Inilah tugas hermeneutika. Bagaimanapun juga, formulasi yang sudah disesuaikan harus diletakkan balik dalam gerakan percakapan, suatu gerakan dimana teks mempertanyakan penafsir dan penafsir mempertanyakan teks tersebut. Tugas hermeneutika adalah “membawa teks keluar dari alienasi dimana ia mendapatkan dirinya (sebagai bentuk tertulis) kembali kedalam suasana kekinian dialog yang hidup, dimana pemenuhan primordialnya adalah dengan pertanyaan dan jawaban.
Ketika teks di transmisikan menjadi sebuah obyek bagi interpretasi, ia menempatkan suatu pertanyaan bagi penafsir dimana ia mencoba untuk menjawabnya melalui interpretasi. Interpretasi yang otentik akan mengaitkannya dengan pertanyaan “yang di tempatkan” oleh teks (teks memiliki sebuah tempat dan sebuah subyek). Menafsir suatu teks, syarat pertama adalah memahami horizon makna atau horizon penalaran dimana petunjuk makna teks di determinasi.
Namun teks itu sendiri merupakan suatu pertanyaan. Dalam pengertian ia merupakan jawaban dari pertanyaan−bukan pertanyaan yang kita letakkan padanya. Sekarang seandainya seseorang memahami teks dalam bentuk pertanyaan yang dijawabnya, itu jelas bahwa seseorang harus mencari dengan menelisik dibalik teks agar dapat menafsirkannya. Seseorang tidak harus puas dengan penerjemahan yang lebih eksplisit dari apa yang eksplisit didalam teks; teks harus ditempatkan dalam horizon pertanyaan yang ingin digiring ke dalam keberadaan.
Di saat perjumpaan dengan horizon teks dalam realitas menyinari horizon seseorang itu dan melahirkan penyingkapan diri dan pemahaman diri; maka perjumpaan itu menjadi suatu momen bagi penyingkapan ontologis. Ini merupakan sebuah peristiwa dimana sesuatu muncul dari negativitas−negativitas sadar bahwa terdapat sesuatu yang seseorang tidak mengetahuinya, bahwa sesuatu bukanlah seperti yang orang asumsikan.
Kemungkinan yang dapat diterima, menurut Gadamer, adalah peleburan bahasa. Proses peleburan bahasa inilah yang memungkinkan teks mengatakan sesuatu dan mengalamatkannya pada kita. Teks akan terdengar bila kita dibiarkan berbicara melalui interpretasi. Akan tetapi, tidak ada teks atau buku yang akan terdengar jika dia tidak berbicara dengan bahasa yang bisa dicapai dan dapat dipahami oleh lawan bicaranya (penafsir). Sia-sia saja sebuah teks jika dia tidak “nyambung” dengan telinga pembaca. Pendengaran baru berarti jika yang terdengar bisa dicerna, dan hal ini mensyaratkan apa yang terdengar adalah bahasa si pendengar. Jika tidak demikian, apa yang terdengar itu tidak lebih dari sekedar bebunyian belaka. Ketika yang terdengar adalah bahasa asing dan agar bahasa ini tidak menjadi sekedar bebunyian, dibutuhkanlah penerjemahan yang didasarkan pada peleburan bahasa.
Peleburan cakrawala lewat peleburan bahasa teks dengan bahasa penafsir ini secara tidak langsung memperlihatkan bahwa interpretasi tidak ada yang benar “dalam dirinya sendiri”. Mediasi yang terjadi lewat bahasa membuat pemahaman bisa berubah, karena walaupun teks adalah sesuatu yang mapan (fixed), namun eksistensi makna yang ada didalamnya baru abash ketika dibaca dan ditafsirkan menggunakan bahasa sekarang, dan tentu saja pembacaannya akan selalu berbeda. Eksistensi makna ditentukan oleh pembaca ini. Ketika waktu berubah, dan penafsiran lama tidak lagi “berbunyi”, maka yang diperlukan adalah pembacaan baru yang akan melahirkan pemahaman dan interpretasi yang baru pula.

Menurut Gadamer, interpretasi yang bagus adalah interpretasi yang transparan dan tidak dapat lagi dibedakan dengan apa yang ditafsirkan. Paradoksnya, tanda kemunculan interpretasi justru terletak pada kenyataan bahwa dia akan ditindih oleh munculnya interpretasi-interpretasi yang baru.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar