Kamis, 14 April 2016

MAKALAH "PENGANTAR ORIENTALISME"

A. Pendahuluan
Islam sebagai agama yang didasarkan kepada dua sumber; Alquran dan Hadis tidak hanya berupa doktrin-doktrin teologis maupun doktrin sosial, tetapi lebih dari pada itu, Islam juga melahirkan peradaban. Peradaban yang dilahirkan oleh Islam melalui cendikiawan dan intelektualnya tidak hanya berwujud tradisi pemikiran, tetapi juga berupa arsitektur yang masih dapat disaksikan dewasa ini. Hal ini membuktikan bahwa Islam sebagai agama telah memberikan etos kerja yang begitu besar bagi penganutnya. 
Pada zaman keemasan Islam, para intelektual muslim telah mengadakan proses transfer ilmu pengetahuan dari berbagai peradaban. Pada saat itu, proses intelektual berjalan dengan lancar yang didukung oleh pemerintah Islam, sehingga melahirkan sarana intelektual seperti sekolah, perguruan tinggi dan perpustakaan. Hal ini menjadikan Islam maju di bidang peradaban. Di bidang sains, seperti kedokteran, matematika, astronomi, dan lain-lain seperti filsafat yang kemudian melahirkan keahlian dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan (Nasution, 1995:39-40). 
Pada abad ke-13, kemajuan peradaban umat Islam mendapat perhatian oleh orang-orang Barat, sehingga mereka berdatangan ke dunia Islam untuk belajar sains, baru kemudian mereka kembangkan. Pada abad ke kesembilan belas, di mana dunia Islam sudah mengalami kemunduran, orang-orang Barat datang lagi ke dunia Islam yang kedua kalinya dengan membawa sains dan teknologi yang pernah mereka pelajari di dunia Islam pada abad ketiga belas setelah mereka kembangkan selama enam abad (Nasution, 1995:39-40). 
Meskipun dunia Islam mengalami kemunduran dan Barat mengalami kemajuan, tetapi dunia Islam pada saat itu, masih menyimpan khasanah peradaban. Hal ini menjadikan orang-orang Barat yang memiliki sains dan teknologi tertarik untuk mengembangkan keahliannya dalam meneliti dan mengenali kembali dunia Islam, sehingga lahirlah orang Barat yang ahli di bidang ketimuran yang disebut dengan orientalis. Ketertarikan untuk mengetahui dan mengenal kembali dunia Islam itu, tidak terlepas dari tendensi politis, ekonomi, agama maupun akademik. Kemudian dalam perkembangan selanjutnya, lahirlah karya-karya oritentalis dalam bidang arkeologi, sejarah, bahasa, agama, kesusatraan, etnologi, kemasyarakatan, adat istiadat, politik, ekonomi, lingkungan dan lain-lain (Sou’yb, 1990:3). Karya-karya para orientalis di bidang agama maupun di bidang disiplin ilmu lainnya, berpengaruh kepada pemikiran intelektual muslim dewasa ini (Jamila, 1997:xvii), karena dianggap ilmiah, rasional, berpikiran maju, berperikemanusiaan, dan karenanya lebih unggul dari dunia orient (Timur, termasuk Islam) yang disebut memiliki ciri statis, irrasional, dan terkebelakang (Shihab, 1999:289), meskipun pada dasarnya penyataan ini – menurut Edwar Said–adalah dogma orietalis. Oleh karena itu, berbagai karya-karya memperingatkan umat Islam bahwa orientalis pada dasarnya yang berlindung dibalik "selimut objektivitas ilmiah" dan penelitian yang bersifat rasional menyisipkan agendanya untuk membendung pengaruh Islam. Meskipun pada abad ini telah muncul beberapa nama orientalis yang dianggap memiliki kecendrungan positif kepada peradaban Islam. Salah satu di antaranya adalah Montgomery Watt. Meskipun demikian, sejarah Indonesia mencatat bahwa nama-nama orientalis yang menganggap rendah ajaran Islam antara lain Hendrik Kraemer dan Snouck Hurgronje. Keduanya meragukan agama Islam mengantarkan Indonesia ke dunia modern (Shihab, 1999:290). Mentalitas orientalis seperti ini pada dasarnya merupakan warisan dari abad pertengahan, akibat kekalahan di pihak Kristen dalam perang salib.

B. Pengertian Orientalis 
Orientalis adalah kata serapan dari bahasa Perancis yang asal katanya adalah orient yang berarti "Timur". Secara gegorafis, kata ini dapat diartikan "dunia Timur" dan secara etnologis berarti bangsa-bangsa di timur (Shihab, 1999:290). Kata orient itu telah memasuki berbagai bahasa di Eropa, termasuk bahasa Inggris. Oriental adalah sebuah kata sifat yang bermakna; hal-hal yang bersifat timur, yang teramat luas ruang lingkupnya.
Orientalis adalah kata nama pelaku yang menunjukkan seorang yang ahli tentang hal-hal yang berkaitan dengan "timur". Sedangkan kata orientalisme (Belanda) ataupun orietalism (Inggris) menunjukkan pengertian tentang suatu paham. Jadi orientalisme berarti sesuatu paham, atau aliran, yang berkeinginan menyelidiki hal-hal yang berkaitan dengan bangsa-bangsa di Timur beserta lingkungannya (Sou’yb, 1990:3). Selain dari pada itu, Edward W. Said (1996:3) memahami orientalis sebagai suatu cara untuk memahami dunia Timur, berdasarkan tempatnya yang khusus menurut pengalaman orang Barat Eropa. Atau dengan kata lain orientalisme adalah suatu gaya berpikir yang berdasarkan pada pembedaan ontologis dan epistemologis yang dibuat antara "Timur" (the Orient) dan (hampir selalu) Barat (the Occident). 
Oleh karena itu, meskipun orientalis memiliki makna yang luas, yaitu segala sesuatu yang berkaitan langsung dengan bangsa-bangsa Timur beserta lingkungannya sehingga meliputi seluruh bidang kehidupan, namun secara sempit, orientalis dapat diartikan sebagai kegiatan ahli ketimuran Barat tentang agama-agama di Timur, khususnya agama Islam. 
Kegaitan penyelidikan dalam bidang tersebut telah berlangsung selama berabad-abad secara sporadik, tetapi baru memperlihatkan intensitasnya yang luar biasa sejak abad ke-19 Masehi. Sikap dan pandangan terhadap masing-masing agama di Timur, khususnya agama Islam, sangat berbeda-beda menurut sikap mental orientalis itu. 

C. Latar Belakang Munculnya Orientalis 
Sebagaimana yang telah dimaklumi bahwa hubungan atau kontak antara Timur dengan Barat telah terjalin sejak ribuan tahun silam yang ditandai dengan perbenturan kepentingan maupun permusuhan. Sekitar tahun 600-330 SM telah terjadi hubungan perebutan kekuasaan antara Grik Tua dengan dinasti Achaemendis dari Imperium Parsi sejak masa pemerintahan Cyrus the Great (550-530 SM). Akibat kepentingan ini mendorong masing-masing pihak untuk saling mengenal dengan yang lainnya. Hubungan antara Timur dan Barat ini meninggalkan sebuah karya yang ditulis oleh Xenophon (431-378 SM) yang berjudul Anabasis yang mengisahkan 10.000 pasukan Grik yang terkepung di daerah Parsi (Sou’yb, 1990:18; Ahdal, 1996: v). 
Sejalanjutnya, ketika Yunani dan Romawi berhasil melakukan invasi ke Mesir, Aleksander menguasi kota Aleksandria. Kota ini dibangun oleh Aleksander Agung. Di masa ini penduduk yang ditaklukkan diwajibkan berperadaban Yunani, yang kemudian dikenal dengan hellenisme (Ahdal, 1996:v). 
Setelah agama Islam lahir dan berhasil mengembangkan pengaruhnya, bahkan dapat mendirikan kerajaan di Andalusia (Spanyol) pada awal abad ke 8 Masehi, peradaban Islam menjadi sumber cahaya yang menerangi dunia. Di Andalusia pendidikan mencapai peringkat kemajuan tertinggi, tetapi kemudian mundur dan menjadi kerajaan Granada. Meskipun demikian, kota ini pernah menjadi pusat peradaban dunia Barat yang kemudian dihancurkan oleh Kristen Eropa pada tahun 1492 M (Ahdal, 1996: v). 
Selain daripada itu, pada masa keemasan Islam perkembangan intelektual di kalangan umat Islam sangat menonjol sehingga berhasil membangun berbagai perguruan Tinggi Islam. Sejarah mencatat ada empat perguruan Tinggi tertua di dunia Islam. Perguruan Tinggi tertua dunia Islam dibelahan Timur berkedudukan di Baghdad (Irak) dan di Kairo (Mesir). Adapun perguruan Tinggi di belahan dunia Barat, berkedudukan di Cordova (Andalusia) dan Fes (Marokko). Keempat perguruan tinggi yang dimaksud adalah Nizamiyah, Al-Azhar, Cordova dan Kairawan. Keempat perguruan tinggi Islam inilah yang sangat mempengaruhi minat Barat terhadap Dunia Timur (Islam) (Sou’yb, 1990:37). 
Sejak masa pemerintahan Khalifah Abdul Malik bin Marwan (685-705 M) yang berkedudukan di Damaskus diinstruksikan penggantian penggunaan bahasa untuk arsip-arsip resmi pemerintah dari bahasa setempat (Pahlevi, Kpti, Grik, Latin) ke bahasa Arab, maka sejak itu bahasa Arab telah menjadi lingua prance dalam hubungan-hubungan diplomatik, dagang, surat menyurat resmi, dunia kesusatraan dan kebudayaan, dunia ilmiah dan filsafat (Sou’yb, 1990:22). Oleh karena itu sejarah mencatat bahwa pada masa-masa damai sering terjadi perutusan diplomatik kaisar-kaisar Bizantium ke Bangdad ibu kota Daulah Abbasiyah sekitar tahun (750-1258) di belahan Timur. Demikian pula raja-raja Eropa, mengirimkan perutusannya ke Cordova, ibu kota Daulat Bani Umaiyyah (756-1031) di belahan Barat. Setiap kali perutusan itu senantiasa membawa berita tentang hal-hal yang menakjubkan, yang disaksikannya di ibu kota-ibukota dunia Islam itu (Sou’yb, 1990:23). 
Selain faktor politik tersebut, andil faktor ekonomi memainkan peran. Oleh karena itu para penguasa di Barat itu merasa berkepentingan pada masa-masa damai untuk mengikat persahabatan dengan pihak penguasa Islam, karena jalur perdagangan dari benua Timur, baik jalan Sutera maupun jalan laut, dikuasi oleh pemerintah Islam. 

D. Periode Perkembangan Orientalis 
Penyebab langsung munculnya orientalis atau ahli ketimuran adalah adanya studi-studi yang dilakukan oleh ilmuan Barat tentang ketimuran baik berupa sastra, sejarah, adat-istiadat, politik, lingkungan, maupun agama di Timur Asia termasuk Islam. 
Minat orang Barat untuk meneliti masalah-masalah ketimuran sudah berlangsung sejak abad pertengahan. Mereka malahirkan sejumlah karya-karya yang menyangkut masalah ketimuran. Dalam rentang waktu antara abad pertengahan sampai abad ini, secara garis besar orientalisme dapat dibagi tiga periode, yaitu (1) masa sebelum meletusnya perang salib di saat umat Islam berada dalam zaman keemasannya (650-1250); (2) masa perang salib sampai masa pencerahan di Eropa; dan (3) Munculnya Masa Pencerahan di Eropa sampai sekarang (Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, 1999:55).

1. Masa Sebelum Meletusnya Perang Salib atau Masa Keemasan Dunia Islam 
Ada pendapat yang mengatakan bahwa pada abad pertengahan pandangan orang Eropa tentang Islam berasal dari gagasan kitab suci dan teologis. Oleh karena itu, mitologis, teologis dan misionerlah yang berperan memberikan rumusan untuk mengembangkan wacana resmi mengenai Islam bagi kaum gereja. Secara mitologis, kaum muslim dipahami sebagai kaum Arab (saracen) keturunan Ibrahim (Abraham) melalui budaknya, Hajar (Hagar) dan putera mereka, Ismail (Ishmael) (Esposito, et al, 2001: 1-2). 
Pada zaman keemasan dunia Islam, negeri-negeri Islam, khususnya Baghdad dan Andalusia (Spanyol) menjadi pusat peradaban dan ilmu pengetahun. Bangsa-bangsa Eropa yang menjadi penduduk asli Andalusia meggunakan bahasa Arab sebagai alat komunikasi dan adat istiadat Arab dalam kehidupan sehari-hari. Mereka menuntut ilmu di perguran-perguruan Tinggi Arab. Sejarah mencatat bahwa di antara raja-raja Spanyol yang non muslim ada yang hanya mengenal huruf Arab (misalnya, Peter I (w. 1140, raja Aragon). Raja Alfonso IV mencetak uang dengan huruf Arab. Hal ini sama dengan di Sicilia, Raja Normandia, Ronger I menjadikan istananya sebagai tempat para filosof, dokter-dokter, dan ahli Islam lainnya dalam berbagai ilmu pengetahuan. Keadaan ini berlanjut sampai Ronger II. Di mana pakaian kebesarannya digunakan pakaian Arab, bahkan gerejanya dihiasi dengan ukiran Arab. Wanita kristen Sicilia meniru wanita Islam dalam berbusana. 
Peradaban Islam itu bukan hanya berpengaruh bagi bangsa Eropa yang berada di bawah atau bekas kekuasaan Islam, tetapi juga bagi orang Eropa di luar daerah itu. Penuntut ilmu dari Perancis, Inggris, Jerman dan Italia, datang belajar ke perguruan Tinggi dan Universitas yang ada di Andalusia dan Sicilia. Di antara mereka itu adalah pemuka-pemuka Kristen, misalnya Gerbert d'Aurillac yang belajar di Andalusia dan Adelard dari Bath (1107-1135) yang belajar di Andalusia dan Sicilia. Gerbert d'Aurillac kemudian menjadi Paus di Roma dari tahun 999-1003 dengan nama Sylverster II. Adapun Adelard setelah kembali ke Inggris di angkat menjadi guru Pangeran Henry yang kelak menjadi raja. Ia menjadi salah satu penerjemah buku-buku Arab ke dalam bahasa Latin (Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, 1999:56).
Dalam suasana inilah muncul orientalisme di kalangan Barat. Bahasa Arab mulai dipandang sebagai bahasa yang harus dipelajari dalam bidang ilmiah dan filsafat. Pelajaran Bahasa Arab dimasukkan ke dalam kurikulum di berbagai pergurun Tinggi Eropa, seperti di Bologona (Italia) pada tahun 1076, Chartres (Prancis) tahun 1117, Oxford (Inggris) tahun 1167, dan Paris tahun 1170. muncullah penerjemah generasi pertama, Constantinus Africanus (w. 1087) dan Gerard Cremonia (w. 1187).
Tujuan orientalisme pada masa ini adalah memindahkan ilmu pengetahuan dan filsafat dari dunia Islam ke Eropa. Tujuan ini meningkatkan minat mereka dalam mempelajari bahasa Arab di Universitas-universitas. Di Italia pelajaran Bahasa Arab diadakan di Roma (1303), Florencia (1321), Padua (1361) dan Gregoria (1553); di Perancis pada tahun 1217, montipellier 1221, Bordeaux 1441; di Inggris dilaksanakan di Cambrige tahun 1209, sedangkan di bagian Eropa dimulai pada abad ke 15. 

2. Masa Perang Salib sampai Masa Pencerahan di Eropa 
Perang salib antara umat Islam Timur dan Kristen Barat yang menghabiskan tenggang waktu antara tahun 1096-1291 membawa kekalahan bagi Karisten. Namun demikian bukan berarti umat Islam tidak menderita. Akibat perang salib putra-putra terbaik bangsa gugur di medan tempur. Aset-aset dan kekayaan negara berupa sarana dan prasarana pada saat itu, banyak mengalami kehancuran. Kemiskinan, dekadensi moral dan kebodohan terjadi akibat perhatian para pemimpin terpokus kepada pertahanan kekuasaan dari serangan tentara Salib. Oleh karena itu, umat Islam tidak mendapatkan keuntungan apapun dari perang salib, selain dari kehancuran. Sebaliknya, meskipun umat Kristen dinyatakan kalah, tetapi Kontak Islam-Kristen ini mempunyai sumbangsih yang sangat besar terhadap lahirnya rennaisance kemajuan peradaban dan ilmu pengetahuan di Eropa setelah bangsa Eropa tenggelam dalam lautan kegelapan (Nasution, 1996:302). 
Pada periode awal perang salib ini, dibentuklah studi Islam untuk tujuan misi pada abad ke 12 pada masa Peter Agung (sekitar 1094-1156 M), kepala Biara Pria Cluny di Prancis yang hingga saat ini menjadi lembaga utama pengetahuan Kristen. Pada tahun 1142 Peter sebagai kepala lembaga mengadakan perjalanan ke Spanyol untuk mengunjungi biara-biara Clunic. Pada saat inilah beliau memutuskan untuk melakukan sebuah proyek besar untuk melibatkan beberapa penerjemah dan sarjana, untuk memulai studi sistematis tentang Islam. Ketika Peter memberikan otoritas untuk penerjemahan dan penafsiran teks-teks Islam yang berbahasa Arab terjadilah cerita-cerita cabul tentang Nabi Muhammad. Cerita itu melukiskan Muhammad sebagai Tuhan, pendusta, penggemar wanita, seorang kristen yang murtad, tukang sihir dan sebagainya (Esposito, et al, 2001: 2). 
Korpus (kumpulan naskah) Cluniac yang dikenal sebagai usaha Peter ini, menjadi standar pengetahuan kesarjanaan Barat tentang Islam pada saat itu (Esposito, et al, 2001:2). Banyak teks Islam yang berbahasa Arab diterjemahkan termasuk Alquran, hadis, biografi Nabi (sirah) dan teks opologetik "Opologi Alkindi" yang memuat perdebatan antara Kristen dan Muslim yang terjadi pada khalifah al-Ma'mun (813-833). Karya al-Kindi ini sangat populer di kalangan sarjana Kristen pada abad pertengahan karena memberikan model argumentasi tentang Islam. Fokus serangan-serangan ini khususnya adalah Alquran, kenabian Muhammad, dan penyebaran agama melalui penaklukan (jihad). Tiga topik ini merupakan fokus utama dalam telaah para sarjana Kristen tentang Islam pada abad pertengahan. 
Dalam situasi sosial politik ini, ternyata aktivitas penerjemahan jauh lebih menarik di Eropa Kristen. Pada akhir abad ke 12 muncul sekumpulan karya peripatetik Muslim Ibn Sina (w. 1037) dan beredar di Eropa. Semakin banyaknya karya filosofis dan ilmiah diterjemahkan dari bahasa Arab ke bahasa Latin, para sarjana Eropa akhir abad pertengahan memandang Dunia Muslim kontemporer sebagai peradaban sarjana dan filosofis, yang sangat kontras dengan popularitas pandangan menghina Muhammad dan praktik religius Islam (Esposito, et al, 2001:2). Sebab lain yang menyebabkan dunia Islam dihormati adalah akibat kesuksesan militer dan diplomasi Ayyubiyah, Shalah al-Din (1138-1193) terhadap perang salib. Sehingga kaum Kristen, baik dari kalangan sarjana, maupun pendeta pada saat itu, selain menghormati, juga mengamati sikap dan praktek religius yang shaleh dari umat Islam. 

3. Munculnya Masa Pencerahan di Eropa sampai Sekarang 
Ketegangan antara Kristen dan Islam yang timbul akibat adanya tulisan-tulisan negatif dari para orinetalis yang dialamatkan kepada Islam dan umat Islam mulai mereda setelah memasuki masa pencerahan (Enlightenmen) di Eropa yang diwarnai keinginan mencari kebenaran (Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, 1999:56). Sikap positif ini muncul akibat adanya perubahan religius, politik, dan intelektual yang mendalam pada reformasi pada abad ke-16 (Esposito, et al, 2001:3). 
Pada masa pencerahan ini kekuatan rasio mulai meningkat, di mana sebuah tulisan yang dibutuhkan adalah objektif, bukan mengada-ada. Mulailah muncul karya-karya mengenai Islam yang mencoba bersifat positif, misalnya tulisan Voltaire (1684-1778) dan Thomas Carlyle (1896-1947). Tidak semua tulisan mengenai Islam mengandung serangan-serangan dan menjelek-jelekkan, akan tetapi mulai ada penghargaan terhadap Nabi Muhammad saw dan Alquran serta ajaran-ajarannya.
Setelah masa pencerahan datanglah masa kolonialisme. Orang Barat datang ke dunia Islam untuk berdagang dan kemudian juga untuk menundukkan bangsa-bangsa Timur. Untuk itu bangsa-bangsa Timur perlu diketahui secara dekat, termasuk agama dan kultur mereka, karena dengan itu hubungan menjadi lancar dan mereka lebih mudah ditundukkan. Pada masa ini muncullah karya-karya yang mencoba memberikan gambaran tentang Islam yang sebenarnya (Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, 1999:56). Misalnya, tentang agama dan adat istiadat Indonesia, mucnul tulisan-tulisan Marsden, Affles, Wilken, Keyser, Snounk Hurgrunje, Vollenhoven dan sebagainya. Bahkan pada saat Napoleon datang ke Mesir pada tahun 1789, ia membawa sejumlah orientalis untuk mempelajari adat-istiadat, ekonomi, pada petanian Mesir. Di antara orientalis itu adalah Langles (ahli bahasa Arab), Villteau (mempelajari musik Arab), dan Marcel (mepelajari sejarah Mesir). 
Pada periode ini tulisan-tulisan orientalis ditujukan untuk mempelajari Islam seobjektif mungkin, agar dunia Islam diketahui dan dipapahami lebih mendalam. Hal ini perlu karena orientalisme tidak bisa begitu saja terlepas dari kolonialisme, bahkan juga usaha kristenisasi (Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam,1999: 57; Hanafi, 2000: 27). 
Namun begitu, awal abad ke-20 juga ditandai dengan munculnya para orientalis yang berusaha menulis dunia Islam secara ilmiah dan objektif. Orientlaisme dijadikan sebagai usaha pemahaman terhadap dunia Timur secara mendalam. Dalam tradisi ilmiah yang baru ini, bahasa Arab dan pengenalan teks-teks klasik mendapat kedudukan utama. Di antara mereka itu adalah Sir Hamilton A.R. Gibb, Louis Massingnon, W. C. Smith, dan Frithjof Schuon. 
Sir Hamilton A. R. Gibb sangat mengusai bahsa Arab dan dapat berceramah dengan bahasa Arab, sehingga ia diangkat menjadi anggota al-Majma' al-'Ilm al-'Arabi (Lembaga Ilmu Pengetahuan Arab) di Damaskus dan al-Majma' al-Lughah al-Arabiyah (Lembaga Bahasa Arab) di Cairo, Mesir. Ia memandang Islam sebagai agama yang dinamis dan Nabi Muhammad SAW mempunyai akhlak yang baik dan benar. Gibb menulis buku tentang Islam dalam berbagai aspeknya sehingga mencapai lebih dari 20 buah, sehingga oleh orientalis lain ia dipandang sebagai Imam mereka tentang Islam. 
Sama seperti Gibb, Louis Massingnon juga mahir berbahasa Arab dan menjadi anggota al-Majma' al-Ilm al-'Arabiy serta al-Majma' al-Lughawi. Ia pernah menjadi dosen filsafat Islam di Universitas Cairo. Ia mengatakan bahwa berkat adanya tasawuf, Islam menjadi agama internasional yang pengiktunya ada diseluruh dunia (Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam,1999:57). 
W.C. Smith mempunyai ilmu yang mendalam tentang Islam. Ia adalah pendiri Institut pengkajian Islam di Universitas McGill di Montreal, Canada. Ia mengatakan bahwa Tuhan ingin menyampaikan risalah kepada manusia. Untuk itu Tuhan mengirim rasul-rasul dan salah satu di antara rasul itu ialah Nabi Muhammad saw. 
Frithof Schuon menulis buku dengan judul Understanding Islam yang mengdapat sambutan baik di dunia Islam. Sayid Hussein an-Nashr (ahli ilmu sejarah dan filsafat), misalnya, menyebut buku tersebut sebagai buku terbaik tentang Islam sebagai agama dan tuntutan hidup. 
Meskipun demikian, tidak semua pendapat yang ditulis oleh para orientalis modern tentang Islam dapat diterima oleh rasa keagamaan umat Islam, meskipun secara rasional pendapat tersebut benar. Beberapa di antara mereka tidak luput dari kesalahan dalam memberikan interpretasi terhadap ajaran-ajaran Islam, di samping juga banyak yang benar. 
Kegiatan-kegiatan para orientalis meliputi: (1) mengadakan kongres-kongres secara teratur yang dimulai di Paris (1873) dan di kota-kota lain di dunia secara bergantian. Kongres-kongres pada mulanya bernama Orientalits Congres. Sejak tahun 1870 dan telah berganti nama menjadi internasional Congress on Asia and Norrth Africa; (2) mendirikan lembaga-lembaga kajian ketimuran, di antaranya Ecole des Langues Orientalis Vivantes (1975) di Perancis, the Schooll of Ariental and African Studies, Universitas London, (1917) di Inggris, Oosters Institut (1971) di Universitas Leiden, dan Institut Voor het Moderne Nabije Oosten (1956) di Universitas Amsterdam; (3) mendirikan organisasi-organisasi ketimuran, misalnya Societe Asiatique (1822) di Paris, American Oriental Society (1842) di Amerika Serikat, Royal Asiatic Society di Inggris, dan Oosters Genootschap in Nederland (1929) di Leiden; dan (4) menerbitkan majalah-majalah, di antaranya Jurnal Asiatique (1822) di Paris, Journal of the Royal Asitic Society (1899) di London, Journal of the American Oriental Society (1849) di Amerika Serikat, Revaue du Monde Musulman (1907) di Perancis, Der Islam-Zeustschrift fur Gesehichte und Kultur des islamiscen (1919) di Jerman, The Muslim World (1917) di Amerika Serikat, dan Bulletin of the School of Oriental an African (1917) di London. Majalah-majalah ini sebagian besar tertib samapi sekarang. 

E. Penutup
Kontak antara Timur dan Barat yang disebabkan karena adanya kepentingan, baik kepentingan ekonomi, politik, ilmu pengetahuan, kultur dan budaya merupakan faktor utama terjadinya studi para ilmuan Barat (orientalis) tentang Timur yang menghasilkan berbagai karya, baik di bidang arkeologi, sejarah, sastra, lingkungan, adat-istiadat maupun kajian Islam.
Minat orang Barat untuk mengkaji Timur termasuk Islam sudah berlangsung cukup lama dan telah menempuh fase-fase historis tertentu. Setiap fase perkembangan orientalis itu memiliki ciri dan tendensi yang berbeda. Fase sebelum melutusnya perang salib, tujuan para oritentalis adalah memindahkan ilmu pengetahuan dari dunia Islam ke Eropa. Fase masa perang salib, Peter sebagai kepala Biara Cluny memerintahan para sarjana dan penerjemah untuk menerjemahkan teks-teks Arab ke bahasa latin. Dalam proses penerjemahan ini, terjadilah cerita-cerita negatif yang ditujukan kepada pribadi Nabi Muhammad saw. Cerita-cerita pada dasarnya akibat dari kekalahan kristen dalam prang salib. Fase masa pencerahan di Eropa ditandai keinginan para orientalis untuk mencari kebenaran. Pada masa ini kekuatan rasio mulai meningkat sehingga lahirlah karya-karya yang dianggap objektif, bahkan berisi penghargaan kepada Nabi Muhammad dan Alquran. Hal ini didorong oleh motif ekonomi dan politik. Orang Barat pada saat ini, berkeinginan menguasai Timur, oleh karena itu dibutuhkan pengetahuan Timur secara objektif dan menyeluruh, agar dapat menyusun menyusun strategi untuk mencapai tujuan itu. 
Mulai abad ke-19 sampai sekarang para orientalis secara teratur mengadakan kegiatan seperti kongres-kongres, mendirikan lembaga-lembaga kajian ketimuran, mendirikan organisasi-organisasi ketimuran dan menerbitkan majalah-majalah.

F. Daftar Pustaka 
Ahdal, M.Qadari. 1996. Hiwarat Ma'a Urubiyyin Ghairu Muslimin diterjemahkan dengan judul Studi Wawancara dengan Sepuluh Tokoh Orientalis; Meneliti Persepsi Pakar Barat Tentang Islam. Surabaya: Pustaka Progresif. 
Dewan Redaksi Inseklopedi Islam. 1999. Inseklopedi Islam Jilid IV. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve. 
Echols, John dan Hassan Shadily. 1996. Kamus Inggris Indonesia. Cet. XXIII; Jakarta: Gramedia. 
Esposito, John L., at. al. 2001. The Oxford Ensyclopedia of the Modern Islamic World diterjemahkan dengan oleh Eva Y.N dkk dengan judul Ensilopedi Oxford Dunia Islam Modern. Jilid III. Bandung: Mizan. 
Hanafi, Hassan. 2000. Muqaddimah fi 'Ilm al-Istighrab diterjemahkan oleh M. Najib Bukhori dengan judul Oksidentalisme; Sikap kita terhadap Tradisi Barat. Jakarta: Paramadina. Jurnal Hunafa, Vol. 7, No.2, Desember 2010:179-192 192.
Jamilah, Maryam. 1997. Islam and Orientalism diterjemahkan oleh Machnun Husein dengan judul Islam dan Orientalism. Cet. II. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Nasution, Harun. 1995. Islam Rasional; Gagasan dan Pemikiran. Cet. II. Bandung: Mizan. 
Said, Edward W. 1996. Orietalism diterjemahkan oleh Asep Hikmah dengan judul Orientalisme. Cet. III. Bandung: Pustaka. 
Shihab, Alwi. 1999. Islam Inklusif Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama. Cet. IV. Bandung: Mizan.
Sou'yb,Yoesoef. 1990. Orientalisme dan Islam. Cet. II. Jakarta: Bulan Bintang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar