Rabu, 13 April 2016

MAKALAH KEKUASAAN MANUSIA DALAM PERSPEKTIF AL-QURAN

A.        Pendahuluan
Al-Qur’an merupakan salah satu wahyu dari Allah SWT yang diberikan kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril (ruh al-amin), membacanya dihitung sebagai bentuk ibadah (kebaikan). Al-Qur’an bagi umat Islam merupakan sesuatu hal yang sakral dan disucikan, bahkan bagi orang yang tidak suci (junub atau belum wudhu) tidak boleh membaca atau bahkan ada yang berpandangan tidak boleh menyentuhnya sekalipun. Sakralitas ini terjadi karena Al-Qur’an bagi umat Islam merupakan dasar dan sumber dari segala hukum agama. Di dalamnya berisi ketetapan berupa perintah dan larangan, politik dan kebudayaan, sains dan eskatologis, juga kisah dan ramalan masa depan. Namun hal yang menarik adalah walaupun Al-Qur’an berisi hal-hal tersebut, Al-Qur’an tetaplah bukan buku sejarah, buku sains, buku ramalan atau yang lainnya. Karena harus diakui bahwa di dalam Al-Qur’an tidak memiliki sistematika dalam pembahasannya seperti halnya buku-buku ilmiah.
Al-Qur’an menyebut dirinya sebagai al-huda (petunjuk) bagi manusia. Proses dialogis antara manusia dengan Al-Qur’an kemudian melahirkan agama. Menurut Nurcholish Madjid sebagaimana dikutip oleh Monib dan Bahrawi, bahwa agama berkaitan erat dengan kefitrahan manusia. Agama merupakan kelanjutan fitrah manusia yang selalu mengarah dan menginginkan kebenaran dan kesucian. Sehingga Al-Qur’an (agama) merupakan fitrah yang diturunkan (diwahyukan) atau fitrah munazaalah sebagai penguat (pengingat) fitrah yang telah ada pada diri manusia secara alami – diciptakan -  (fitrah majbulah). Oleh karena itu, nilai-nilai keagamaan tidak mungkin bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Karena agama tidak dibuat sebagai penghalangan manusia. Maka, agama yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan akan tertolak.[1]
Melihat fungsinya sebagai kitab petunjuk, Al-Qur’an memuat semua hal tentang manusia dan alam semesta. Al-Qur’an menggambarkan bagaimana manusia diciptakan dan diberi kekuasaan atas alam (bumi) untuk mengatur dan memanfaatkannya demi kemajuan peradaban manusia. Salah satunya adalah dalam QS. AN-Nuur [24]: 55 dan QS An. Naba’ [78]: 6-13 yang menjelaskan bagaimana manusia diberikan kekuasaan oleh Allah SWT atas pengelolaan bumi. Tulisan ini akan mengkaji perspektif Al-Qur’an tentang kekuasaan manusia berdasarkan ayat-ayat Al-Qur’an tersebut. Fokus permasalahannya meliputi; bagiamana konsep manusia dalam Al-Qur’an? Bagaimana kekuasaan manusia dalam perspektif Al-Qur’an? Serta bagaimana pendapat para mufassir memahami kekuasaan manusia dalam perspektif Al-Qur’an?

B.        Tinjauan Umum Manusia
Manusia dalam terminologi Kamus Bahasa Indonesia, diartikan sebagai makhluk yang berakal budi.[2] Pendapat lain sangat beragama dalam memandang manusia, tergantung kecenderungan pandangan masing-masing. Ada beberapa konsep manusia seperti, homo sapiens yaitu makhluk yang memiliki akal budi, animal rational yaitu makhluk yang memiliki kemampuan berpikir, homo laquen yaitu makhluk yang mempunyai kemampuan berbahasa, homo faber atau homor toolmaking animal yaitu makhluk yang mampu membuat perangkat peralatan.
Pendapat dari beberapa filsuf seperti, Socrates mengemukakan bahwa manusia adalah makhluk yang selalu ingin tahu tentang segala sesuatu, baik tentang manusia itu sendiri maupun tentang hal yang ada di luar dirinya. Menurut Plato bahwa hakikat manusia terdiri dari tiga unsur, yaitu roh, nafsu, dan rasio untuk menjalankan kehidupannya. Fungsi roh sebagai simbol kebaikan dan nafsu sebagai simbol keburukan, penggunaan keduanya dikendalikan oleh rasio sebagai pengontrol. Sedangkan menurut Rene Descartes mengungkapkan tentang posisi sentral akal (rasio) sebagai esensi (hakikat) manusia. Ditambahkan oleh Thomas Hobbes bahwa salah satu hakikat manusia adalah keberadaan kontrak sosial, yaitu setiap orang harus menghargai dan menjaga hak orang lain. Hakikat manusia adalah manusia sebagai makhluk sosial yang ditandai dengan keberadaan kontrak sosial di dalamnya. Manusia tidak dapat menjalani kehidupannya secara sendiri-sendiri, oleh karena itu harus ada saling menghargai antar sesama dan saling menjaga hak-hak orang lain.
Jhon Locke mengatakan bahwa manusia dilahirkan laksana kertas bersih, kemudian diisi dengan pengalaman-pengalaman yang diperoleh dalam hidupnya. Manusia terlahir dalam keadaan yang tidak punya daya apapun yang diibaratkan sebagai kertas bersih. Ketidakberdayaan tersebut membutuhkan bantuan orang lain untuk memberikan pengalaman-pengalaman dalam kehidupannya. Sedang menurut Immanuel Kant bahwa manusia adalah makhluk rasional yang bebas bertindak berdasarkan alasan moral, yang bertindak bukan hanya untuk kepentingan diri sendiri.
Pendapat di atas, memberikan penjelasan bahwa manusia memiliki sejumlah potensi yang tidak dimiliki oleh makhluk lainnya seperti hewan dan tumbuhan. Pemberian akal atas manusia, bukanlah tanpa sebab, melainkan berfungsi sebagai instrumen jiwa dalam memajukan peradaban manusia. Sebagai makhluk yang berakal, kecenderungan manusia sangat dinamis. Hal inilah yang menyebabkan manusia selalu mengalami perubahan. Bahkan segala sesuatu yang berinteraksi dengan manusia akan mengalami perubahan, kecuali Tuhan Yang Maha Esa. Sedangkan di dalam Al-Qur’an, penyebutan manusia terbagi menjadi tiga kategori, yaitu insan[3], an-naas[4], dan basyar[5], yang menunjuk kepada kategori manusia berdasar pada kriteria masing-masing.

C.        Konsep Kekuasaan Manusia dalam Al-Qur’an
Manusia sebagai makhluk yang diberikan akal mempunyai otoritas dalam kehidupannya untuk menentukan kehidupannya, dengan konsekwensi akan mempertanggungjawabkan segala perbuatannya di akhirat kelak. Dalam bagian ini akan dibahas mengenai kekuasaan manusia dalam perspektif Al-Qur’an dengan menafsirkan QS. An-Nuur [24]: 55 dan QS. An-Naba’ [78]: 6-13, sebagai berikut:
a.    QS. An-Nuur [24]: 55
ytãur ª!$# tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä óOä3ZÏB (#qè=ÏJtãur ÏM»ysÎ=»¢Á9$# óOßg¨ZxÿÎ=øÜtGó¡uŠs9 Îû ÇÚöF{$# $yJŸ2 y#n=÷tGó$# šúïÏ%©!$# `ÏB öNÎgÎ=ö6s% £`uZÅj3uKãs9ur öNçlm; ãNåks]ƒÏŠ Ï%©!$# 4Ó|Ós?ö$# öNçlm; Nåk¨]s9Ïdt7ãŠs9ur .`ÏiB Ï÷èt/ öNÎgÏùöqyz $YZøBr& 4 ÓÍ_tRrßç6÷ètƒ Ÿw šcqä.ÎŽô³ç Î1 $\«øx© 4 `tBur txÿŸ2 y÷èt/ y7Ï9ºsŒ y7Í´¯»s9'ré'sù ãNèd tbqà)Å¡»xÿø9$# ÇÎÎÈ  
“dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh- sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan aku. dan Barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, Maka mereka Itulah orang-orang yang fasik.”

Al-Maraghi ketika menafsirkan QS. An-Nuur [24] ayat 55 menerangkan bahwa bagi orang-orang yang telah beriman dan mengerjakan amal saleh akan diberikan kekuasaan oleh Allah SWT sebagai seorang khalifah di bumi dan akan menjadi raja-raja serta para pemimpin. Konteks ayat tersebut menerangkan ketakutan pasukan Muslim kepada musuh-musuhnya sehingga tidak dapat tidur, melainkan harus selalu berjaga dengan memegang senjata.[6]
Sedangkan dalam Tafsir An-Nuur, dijelaskan bahwa prasyarat seorang manusia untuk menjadi seorang khalifah ialah harus merealisasikan dirinya pada keimanan dan melakukan amal saleh. Kedua hal tersebut merupakan syarat mutlak sebagaimana yang dijanjikan oleh Allah SWT. Seperti yang telah dikisahkan di dalam Al-Qur’an, di mana kaum Bani Israil telah dijadikan penguasa (khalifah) di bumi Syam dengan membinasakan kaum angkara murka. Cara inilah kemudian yang menyebabkan umat Islam memiliki rasa percaya diri yang tinggi, sehingga ketakutan hanyalah kepada Allah semata. Islam sebagai bentuk kekuatan yang telah dibentuk sedemikian kukuh dan kuat sebagai pegangan dan pondasi umat Islam.[7]
Sementara Hamka menafsirkan ayat ini dengan sangat detail dengan memberikan kesimpulan bahwa ayat ini merupakan inti dari tujuan perjuangan hidup manusia. Dengan corak tafsir sosial-politik, Hamka meberikan komentar ayat ini dengan menegaskan bahwa prinsip hidup manusia yang pertama adalah iman atau kepercayaan. Kemudian setelah iman ini telah digenggam, hal selanjutnya yang harus dilakukan adalah berbuat amal saleh (perbuatan baik), bukti dan bakti. Iman menempati posisi primer dalam hierarki kebutuhan umat manusia. Keteguhan iman sangat mempengaruhi tindakan manusia, karena sejatinya iman itu memancar ke dalam perilaku kehidupan manusia sehari-hari. Iman menurut Hamka adalah pelita yang memberi cahaya dalam hati, sehingga segala perbuatan manusia akan mendapatkan petunjuk atau selalu menuju kepada kebenaran. Integrasi antara iman dan amal saleh merupakan satu kesatuan utuh yang membentuk karakter manusia. Maka, menurut Hamka, orang-orang seperti itulah yang akan diberikan kekuasaan oleh Allah SWT di muka bumi. Namun, Allah telah memberikan peringatan terhadap manusia untuk senantiasa beribadah kepada Allah dan tidak mempersekutukan-Nya. Tetapi jika manusia mengingkari akan Allah dan berbuat kejahatan, kekuasaan tersebut akan dicabut dan tergolong menjadi orang-orang yang fasik.[8]

b.   QS. An-Naba’ [78]: 6-13
óOs9r& È@yèøgwU uÚöF{$# #Y»ygÏB ÇÏÈ   tA$t7Ågø:$#ur #YŠ$s?÷rr& ÇÐÈ   ö/ä3»oYø)n=yzur %[`ºurør& ÇÑÈ   $uZù=yèy_ur ö/ä3tBöqtR $Y?$t7ß ÇÒÈ   $uZù=yèy_ur Ÿ@ø©9$# $U$t7Ï9 ÇÊÉÈ   $uZù=yèy_ur u$pk¨]9$# $V©$yètB ÇÊÊÈ   $uZøŠt^t/ur öNä3s%öqsù $Yèö7y #YŠ#yÏ© ÇÊËÈ   $uZù=yèy_ur %[`#uŽÅ  %[`$¨dur ÇÊÌÈ  
“Bukankah Kami telah menjadikan bumi itu sebagai hamparan?, dan gunung-gunung sebagai pasak?, dan Kami jadikan kamu berpasang-pasangan, dan Kami jadikan tidurmu untuk istirahat, dan Kami jadikan malam sebagai pakaian dan Kami jadikan siang untuk mencari penghidupan, dan Kami bina di atas kamu tujuh buah (langit) yang kokoh, dan Kami jadikan pelita yang Amat terang (matahari),”

Muhammad Abduh, dalam Tafsir Juz Amma menjelaskan bahwa fitrah manusia sebagai seorang khalifah di muka bumi, telah disambut oleh Allah dengan memberikan hamparan bumi yang demikian luas untuk dimanfaatkan demi kalangsungan peradaban manusia.
Menurut Hamka, dalam ayat ini menggambarkan akan kekuasaan Tuhan sebagai sang pencipta yang telah mendidik dan mengajak manusia untuk senantiasa berfikir luas. Hal ini bertujuan untuk memberitahu manusia bahwa Tuhan telah menciptakan bumi dengan hamparan yang sangat luas demi kelangsungan hidup manusia. Manusia sebagai seorang khalifah bumi, memiliki hal untuk memanfaatkan dan memakmurkan bumi. Demi kelangsungan eksistensi manusia, Allah menciptakan hukum-hukumnya (sunnatullah) sebagai bentuk pengaturan terhadap alam semesta beserta isinya. Manusia tidak memiliki kuasa untuk menentang hukum tersebut. Kemudian Allah menciptakan segala sesuatunya berpasang-pasang, seperti laki-laki dan perempuan, malam dan siang, gunung dan laut, dll.[9]
Sedangkan dalam Ringkasan Tafsir Ibn Katsir, dijelaskan bahwa Allah menghamparkan Bumi untuk semua makhluk, dibentangkan bagi mereka sehingga bumi menjadi diam dan tenang. Gunung-gunung sebagai pasak yang di pancangkan padanya sehingga menjadi diam dan tidak mengguncangkan penghuni yang berada di atasnya. Dan Allah menjadikan manusia berpasang-pasang yaitu laki-laki dan perempuan. Masing-masing merasakan kenikmatan dari lawan jenisnya sehingga melahirkan keturunan agar kamu merasa tenteram kepadanya dan menjadikan di antara kamu rasa cinta dan kasih sayang. Menjadikan tidur sebagai istirahat yaitu dengan menghentikan gerakan agar dapat beristirahat setelah melakukan banyak pekerjaan dan usaha untuk mendapatkan penghidupan. Dan menjadikan malam sebagai  pakaian untuk menenangkan diri. Serta menjadikan siang itu cerah dan terang, agar umat manusia dapat pulang dan pergi untuk mendapatkan penghidupan mereka.[10]
Menurut Al-Maraghi, memberikan keterangan bahwa penciptaan matahari adalah bentuk rahasia kehidupan. Panas dan sinarnya dapat mengusir berbagai macam penyakit serta memberikan kesegaran bagi kehidupan. Tidak ada bukti lain yang lebih jelas dari apa yang kita saksikan bahwa orang-orang yang bertempat tinggal jauh dari sinar dan panasnya matahari ternyata lebih mudah terjangkit berbagai macam penyakit. Sebab kuman-kuman penyakit tidak akan bisa berkembang biak kecuali pada tempat-tempat yang jauh dari sinar matahari atau terhalang sama sekali dari sinarnya.[11]



[1]    Mohammad Monib & Islah Bahrawi, Islam dan Hak Asasi Manusia dalam Pandangan Nurcholish Madjid, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka, 2011), hlm. 65.
[2]  Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008), hlm. 917.
[3]  Konsep al-Insan; manusia diciptakan sebagai makhluk eksploratif yang mempunyai keseimbangan antara pertumbuhan dan perkembangan. Manusia mempunyai potensi untuk menjadi makhluk berperadaban yang mempunyai kemampuan kreasi dan inovasi.
[4]    Konsep al-Nas berarti manusia sebagai makhluk sosial yang hidup bermasyarakat.
[5]   Menggambarkan manusia sebagai makhluk biologis terdiri dari unsur materi yang membutuhkan makan dan minum.
[6]  Ahmad Mustofa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi; Juz 18, terj. Bahrun Abubakar, dkk., cet ke II, (Semarang: Toha Putra, 1993), hlm. 228.
[7]   T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nuur, Jilid 4, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2000), hlm. 2844.
[8]   Hamka, Tafsir Al-Azhar; Juz XVIII, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1992), hlm. 217-218.
[9]   Hamka, Tafsir Al-Azhar; Juz XXX..., hlm. 9-11.
[10]  Muhammad Nasib Ar-Rifa’i, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir (Depok: Gema Insani, 2000), hlm. 894.
[11]  Ahmad Mustofa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi..., hlm. 15.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar