A.
Pendahuluan
Al-Qur’an
merupakan salah satu wahyu dari Allah SWT yang diberikan kepada Nabi Muhammad
SAW melalui malaikat Jibril (ruh al-amin), membacanya dihitung sebagai
bentuk ibadah (kebaikan). Al-Qur’an bagi umat Islam merupakan sesuatu hal yang
sakral dan disucikan, bahkan bagi orang yang tidak suci (junub atau belum
wudhu) tidak boleh membaca atau bahkan ada yang berpandangan tidak boleh
menyentuhnya sekalipun. Sakralitas ini terjadi karena Al-Qur’an bagi umat Islam
merupakan dasar dan sumber dari segala hukum agama. Di dalamnya berisi
ketetapan berupa perintah dan larangan, politik dan kebudayaan, sains dan
eskatologis, juga kisah dan ramalan masa depan. Namun hal yang menarik adalah
walaupun Al-Qur’an berisi hal-hal tersebut, Al-Qur’an tetaplah bukan buku
sejarah, buku sains, buku ramalan atau yang lainnya. Karena harus diakui bahwa
di dalam Al-Qur’an tidak memiliki sistematika dalam pembahasannya seperti
halnya buku-buku ilmiah.
Al-Qur’an
menyebut dirinya sebagai al-huda (petunjuk) bagi manusia. Proses
dialogis antara manusia dengan Al-Qur’an kemudian melahirkan agama. Menurut
Nurcholish Madjid sebagaimana dikutip oleh Monib dan Bahrawi, bahwa agama
berkaitan erat dengan kefitrahan manusia. Agama merupakan kelanjutan fitrah
manusia yang selalu mengarah dan menginginkan kebenaran dan kesucian. Sehingga
Al-Qur’an (agama) merupakan fitrah yang diturunkan (diwahyukan) atau fitrah
munazaalah sebagai penguat (pengingat) fitrah yang telah ada pada diri
manusia secara alami – diciptakan - (fitrah
majbulah). Oleh karena itu, nilai-nilai keagamaan tidak mungkin
bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Karena agama tidak dibuat sebagai
penghalangan manusia. Maka, agama yang bertentangan dengan nilai-nilai
kemanusiaan akan tertolak.[1]
Melihat
fungsinya sebagai kitab petunjuk, Al-Qur’an memuat semua hal tentang manusia
dan alam semesta. Al-Qur’an menggambarkan bagaimana manusia diciptakan dan
diberi kekuasaan atas alam (bumi) untuk mengatur dan memanfaatkannya demi
kemajuan peradaban manusia. Salah satunya adalah dalam QS. AN-Nuur [24]: 55 dan
QS An. Naba’ [78]: 6-13 yang menjelaskan bagaimana manusia diberikan kekuasaan
oleh Allah SWT atas pengelolaan bumi. Tulisan ini akan mengkaji perspektif
Al-Qur’an tentang kekuasaan manusia berdasarkan ayat-ayat Al-Qur’an tersebut.
Fokus permasalahannya meliputi; bagiamana konsep manusia dalam Al-Qur’an?
Bagaimana kekuasaan manusia dalam perspektif Al-Qur’an? Serta bagaimana
pendapat para mufassir memahami kekuasaan manusia dalam perspektif Al-Qur’an?
B.
Tinjauan
Umum Manusia
Manusia
dalam terminologi Kamus Bahasa Indonesia, diartikan sebagai makhluk yang
berakal budi.[2] Pendapat
lain sangat beragama dalam memandang manusia, tergantung kecenderungan
pandangan masing-masing. Ada beberapa konsep manusia seperti, homo sapiens yaitu makhluk yang memiliki
akal budi, animal rational yaitu makhluk
yang memiliki kemampuan berpikir, homo laquen yaitu makhluk yang mempunyai kemampuan berbahasa, homo
faber atau homor toolmaking animal yaitu makhluk yang mampu
membuat perangkat peralatan.
Pendapat
dari beberapa filsuf seperti, Socrates mengemukakan bahwa manusia adalah makhluk yang selalu ingin tahu tentang
segala sesuatu, baik tentang manusia itu sendiri maupun tentang hal yang ada di
luar dirinya. Menurut Plato bahwa hakikat manusia terdiri dari tiga unsur, yaitu roh,
nafsu, dan rasio untuk menjalankan kehidupannya. Fungsi roh sebagai simbol kebaikan dan
nafsu sebagai simbol
keburukan, penggunaan keduanya dikendalikan oleh rasio sebagai pengontrol.
Sedangkan menurut Rene
Descartes mengungkapkan tentang posisi sentral akal (rasio) sebagai esensi
(hakikat) manusia. Ditambahkan oleh
Thomas Hobbes bahwa salah satu hakikat manusia adalah keberadaan kontrak
sosial, yaitu setiap orang harus menghargai dan menjaga hak orang lain. Hakikat
manusia adalah manusia sebagai
makhluk sosial yang ditandai dengan keberadaan kontrak sosial di dalamnya. Manusia tidak dapat
menjalani kehidupannya secara sendiri-sendiri, oleh karena itu harus ada
saling menghargai antar sesama dan saling menjaga hak-hak orang lain.
Jhon Locke mengatakan bahwa manusia dilahirkan
laksana kertas
bersih, kemudian diisi dengan pengalaman-pengalaman yang diperoleh dalam hidupnya. Manusia
terlahir dalam keadaan yang tidak punya
daya apapun yang diibaratkan sebagai kertas bersih. Ketidakberdayaan tersebut membutuhkan bantuan
orang lain untuk memberikan pengalaman-pengalaman dalam kehidupannya.
Sedang menurut Immanuel
Kant bahwa manusia adalah makhluk rasional
yang bebas bertindak berdasarkan alasan moral, yang bertindak bukan hanya untuk kepentingan
diri sendiri.
Pendapat
di atas, memberikan penjelasan bahwa manusia memiliki sejumlah potensi yang
tidak dimiliki oleh makhluk lainnya seperti hewan dan tumbuhan. Pemberian akal
atas manusia, bukanlah tanpa sebab, melainkan berfungsi sebagai instrumen jiwa
dalam memajukan peradaban manusia. Sebagai makhluk yang berakal, kecenderungan
manusia sangat dinamis. Hal inilah yang menyebabkan manusia selalu mengalami
perubahan. Bahkan segala sesuatu yang berinteraksi dengan manusia akan
mengalami perubahan, kecuali Tuhan Yang Maha Esa. Sedangkan di dalam Al-Qur’an,
penyebutan manusia terbagi menjadi tiga kategori, yaitu insan[3],
an-naas[4],
dan basyar[5],
yang menunjuk kepada kategori manusia berdasar pada kriteria masing-masing.
C.
Konsep
Kekuasaan Manusia dalam Al-Qur’an
Manusia
sebagai makhluk yang diberikan akal mempunyai otoritas dalam kehidupannya untuk
menentukan kehidupannya, dengan konsekwensi akan mempertanggungjawabkan segala
perbuatannya di akhirat kelak. Dalam bagian ini akan dibahas mengenai kekuasaan
manusia dalam perspektif Al-Qur’an dengan menafsirkan QS. An-Nuur [24]: 55 dan
QS. An-Naba’ [78]: 6-13, sebagai berikut:
a.
QS.
An-Nuur [24]: 55
ytãur ª!$# tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä óOä3ZÏB (#qè=ÏJtãur ÏM»ysÎ=»¢Á9$# óOßg¨ZxÿÎ=øÜtGó¡us9 Îû ÇÚöF{$# $yJ2 y#n=÷tGó$# úïÏ%©!$# `ÏB öNÎgÎ=ö6s% £`uZÅj3uKãs9ur öNçlm; ãNåks]Ï Ï%©!$# 4Ó|Ós?ö$# öNçlm; Nåk¨]s9Ïdt7ãs9ur .`ÏiB Ï÷èt/ öNÎgÏùöqyz $YZøBr& 4 ÓÍ_tRrßç6÷èt w cqä.Îô³ç Î1 $\«øx© 4 `tBur txÿ2 y÷èt/ y7Ï9ºs y7Í´¯»s9'ré'sù ãNèd tbqà)Å¡»xÿø9$# ÇÎÎÈ
“dan Allah
telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan
amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh- sungguh akan menjadikan mereka berkuasa
dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa,
dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk
mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam
ketakutan menjadi aman sentausa. mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada
mempersekutukan sesuatu apapun dengan aku. dan Barangsiapa yang (tetap) kafir
sesudah (janji) itu, Maka mereka Itulah orang-orang yang fasik.”
Al-Maraghi ketika menafsirkan
QS. An-Nuur [24] ayat 55 menerangkan bahwa bagi orang-orang yang telah beriman
dan mengerjakan amal saleh akan diberikan kekuasaan oleh Allah SWT sebagai
seorang khalifah di bumi dan akan menjadi raja-raja serta para pemimpin.
Konteks ayat tersebut menerangkan ketakutan pasukan Muslim kepada
musuh-musuhnya sehingga tidak dapat tidur, melainkan harus selalu berjaga
dengan memegang senjata.[6]
Sedangkan dalam Tafsir
An-Nuur, dijelaskan bahwa prasyarat seorang manusia untuk menjadi seorang
khalifah ialah harus merealisasikan dirinya pada keimanan dan melakukan amal
saleh. Kedua hal tersebut merupakan syarat mutlak sebagaimana yang dijanjikan
oleh Allah SWT. Seperti yang telah dikisahkan di dalam Al-Qur’an, di mana kaum
Bani Israil telah dijadikan penguasa (khalifah) di bumi Syam dengan
membinasakan kaum angkara murka. Cara inilah kemudian yang menyebabkan umat
Islam memiliki rasa percaya diri yang tinggi, sehingga ketakutan hanyalah
kepada Allah semata. Islam sebagai bentuk kekuatan yang telah dibentuk
sedemikian kukuh dan kuat sebagai pegangan dan pondasi umat Islam.[7]
Sementara Hamka menafsirkan
ayat ini dengan sangat detail dengan memberikan kesimpulan bahwa ayat ini
merupakan inti dari tujuan perjuangan hidup manusia. Dengan corak tafsir
sosial-politik, Hamka meberikan komentar ayat ini dengan menegaskan bahwa
prinsip hidup manusia yang pertama adalah iman atau kepercayaan. Kemudian
setelah iman ini telah digenggam, hal selanjutnya yang harus dilakukan adalah
berbuat amal saleh (perbuatan baik), bukti dan bakti. Iman menempati posisi
primer dalam hierarki kebutuhan umat manusia. Keteguhan iman sangat mempengaruhi
tindakan manusia, karena sejatinya iman itu memancar ke dalam perilaku
kehidupan manusia sehari-hari. Iman menurut Hamka adalah pelita yang memberi
cahaya dalam hati, sehingga segala perbuatan manusia akan mendapatkan petunjuk
atau selalu menuju kepada kebenaran. Integrasi antara iman dan amal saleh
merupakan satu kesatuan utuh yang membentuk karakter manusia. Maka, menurut
Hamka, orang-orang seperti itulah yang akan diberikan kekuasaan oleh Allah SWT
di muka bumi. Namun, Allah telah memberikan peringatan terhadap manusia untuk
senantiasa beribadah kepada Allah dan tidak mempersekutukan-Nya. Tetapi jika
manusia mengingkari akan Allah dan berbuat kejahatan, kekuasaan tersebut akan
dicabut dan tergolong menjadi orang-orang yang fasik.[8]
b.
QS.
An-Naba’ [78]: 6-13
óOs9r& È@yèøgwU uÚöF{$# #Y»ygÏB ÇÏÈ tA$t7Ågø:$#ur #Y$s?÷rr& ÇÐÈ ö/ä3»oYø)n=yzur %[`ºurør& ÇÑÈ $uZù=yèy_ur ö/ä3tBöqtR $Y?$t7ß ÇÒÈ $uZù=yèy_ur @ø©9$# $U$t7Ï9 ÇÊÉÈ $uZù=yèy_ur u$pk¨]9$# $V©$yètB ÇÊÊÈ $uZøt^t/ur öNä3s%öqsù $Yèö7y #Y#yÏ© ÇÊËÈ $uZù=yèy_ur %[`#uÅ %[`$¨dur ÇÊÌÈ
“Bukankah Kami
telah menjadikan bumi itu sebagai hamparan?, dan gunung-gunung sebagai pasak?,
dan Kami jadikan kamu berpasang-pasangan, dan Kami jadikan tidurmu untuk
istirahat, dan Kami jadikan malam sebagai pakaian dan Kami jadikan siang untuk
mencari penghidupan, dan Kami bina di atas kamu tujuh buah (langit) yang kokoh,
dan Kami jadikan pelita yang Amat terang (matahari),”
Muhammad
Abduh, dalam Tafsir Juz Amma menjelaskan bahwa fitrah manusia sebagai
seorang khalifah di muka bumi, telah disambut oleh Allah dengan memberikan
hamparan bumi yang demikian luas untuk dimanfaatkan demi kalangsungan peradaban
manusia.
Menurut
Hamka, dalam ayat ini menggambarkan akan kekuasaan Tuhan sebagai sang pencipta
yang telah mendidik dan mengajak manusia untuk senantiasa berfikir luas. Hal
ini bertujuan untuk memberitahu manusia bahwa Tuhan telah menciptakan bumi
dengan hamparan yang sangat luas demi kelangsungan hidup manusia. Manusia
sebagai seorang khalifah bumi, memiliki hal untuk memanfaatkan dan memakmurkan
bumi. Demi kelangsungan eksistensi manusia, Allah menciptakan hukum-hukumnya (sunnatullah)
sebagai bentuk pengaturan terhadap alam semesta beserta isinya. Manusia
tidak memiliki kuasa untuk menentang hukum tersebut. Kemudian Allah menciptakan
segala sesuatunya berpasang-pasang, seperti laki-laki dan perempuan, malam dan
siang, gunung dan laut, dll.[9]
Sedangkan
dalam Ringkasan Tafsir Ibn Katsir, dijelaskan bahwa Allah menghamparkan
Bumi untuk semua makhluk, dibentangkan bagi mereka sehingga bumi menjadi diam
dan tenang. Gunung-gunung sebagai pasak yang di pancangkan padanya sehingga
menjadi diam dan tidak mengguncangkan penghuni yang berada di atasnya. Dan
Allah menjadikan manusia berpasang-pasang yaitu laki-laki dan perempuan.
Masing-masing merasakan kenikmatan dari lawan jenisnya sehingga melahirkan
keturunan agar kamu merasa tenteram kepadanya dan menjadikan di antara kamu
rasa cinta dan kasih sayang. Menjadikan tidur sebagai istirahat yaitu dengan
menghentikan gerakan agar dapat beristirahat setelah melakukan banyak pekerjaan
dan usaha untuk mendapatkan penghidupan. Dan menjadikan malam sebagai
pakaian untuk menenangkan diri. Serta menjadikan siang itu cerah dan terang,
agar umat manusia dapat pulang dan pergi untuk mendapatkan penghidupan mereka.[10]
Menurut Al-Maraghi,
memberikan keterangan bahwa penciptaan matahari adalah bentuk rahasia
kehidupan. Panas dan sinarnya dapat mengusir berbagai macam penyakit serta memberikan
kesegaran bagi kehidupan. Tidak ada bukti lain yang lebih jelas dari apa yang
kita saksikan bahwa orang-orang yang bertempat tinggal jauh dari sinar dan
panasnya matahari ternyata lebih mudah terjangkit berbagai macam penyakit.
Sebab kuman-kuman penyakit tidak akan bisa berkembang biak kecuali pada
tempat-tempat yang jauh dari sinar matahari atau terhalang sama sekali dari
sinarnya.[11]
[1] Mohammad Monib
& Islah Bahrawi, Islam dan Hak Asasi Manusia dalam Pandangan Nurcholish
Madjid, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka, 2011), hlm. 65.
[2] Tim Penyusun Kamus
Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa Departemen
Pendidikan Nasional, 2008), hlm. 917.
[3] Konsep al-Insan; manusia diciptakan sebagai makhluk eksploratif
yang mempunyai keseimbangan antara pertumbuhan dan perkembangan. Manusia
mempunyai potensi untuk
menjadi makhluk berperadaban yang mempunyai kemampuan kreasi dan inovasi.
[5] Menggambarkan
manusia sebagai makhluk biologis terdiri dari unsur materi yang
membutuhkan makan dan minum.
[6] Ahmad Mustofa
Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi; Juz 18, terj. Bahrun Abubakar, dkk., cet
ke II, (Semarang: Toha Putra, 1993), hlm. 228.
[7] T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Tafsir
Al-Qur’anul Majid An-Nuur, Jilid 4, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2000),
hlm. 2844.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar